Untuk Suami..Untuk Istri
Agar hubungan suami istri selaras dan sejalan. Hendaknya mengikuti tuntutan dari Allah melalui Rosulullah Muhammad SAW.
Untuk Suami..
“Saya bertanya kepada Rasulullah saw., siapakah orang yang paling besar haknya terhadap perempuan?.” Jawabnya: “Suaminya.” Lalu saya bertanya: “Siapakah haknya yang paling besar terhadap laki-laki?.” Jawabnya: “ibunya” (HR. Hakim)
Dari Mu’awiyah al-Qusyairi, ia berkata: “Saya bertanya, wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri dari kami kepada suaminya? Sabdanya: Engkau memberi makan kepadanya apa yang engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul mukanya. Janganlah engkau menjelekkannya, kecuali masih dalam satu rumah. (HR. Abu Dawud)
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah: 233)
“Berbuat baiklah terhadap istri kalian, karena wanita tercipta dari tulang rusuk. Sesungguhnya bagian terbengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau hendak meluruskannya, maka akan mematahkannya, dan jika engkau biarkan, maka ia tetap bengkok. Untuk itulah, berbuat-baiklah kalian kepada istri-istri.” (HR. Muttafaq’Alaih)
Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka; dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu perempuan-perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka bersalin. (QS. Ath-Thalaq: 6)
Dikatakan kepada Aisyah, “Apa yang dilakukan oleh Rasulullah di dalam rumah?” Dia menjawab, “Beliau membantu pekerjaan istrinya, dan ketika mendengar adzan, beliau langsung keluar.” (HR. Al-Bukhari)
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisaa’:34)
….hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah di dalam urusan perempuan. Karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kalimat Allah. Kamu telah menghalalkan kemaluan (kehormatan) mereka dengan kalimat Allah. Wajib bagi mereka (istri-istri) untuk tidak memasukkan ke dalam rumahmu orang yang tidak kamu sukai. jika mereka melanggar yang tersebut pukullah mereka, tetapi jangan sampai melukai. Mereka berhak mendapatkan belanja dari kamu dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim)
***
Untuk Istri..
“Jika aku boleh menyuruh manusia bersujud kepada manusia, tentu aku akan menyuruh perempuan bersujud kepada suaminya.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad)
“Tidak patut manusia bersujud kepada manusia, andai manusia boleh bersujud kepada manusia, maka aku perintahkan kepada wanita bersujud di depan suaminya, mengingat besarnya hak suami atas istri. Demi dzat yang jiwa ragaku berada dalam genggaman tangan-Nya, andaikata sekujur tubuh suami, dari kepala sampai kaki penuh dengan luka yang berdarah dan bernanah, lalu sang istri menjilatinya, dia belum dapat melunasi haknya.” (HR. Ahmad)
“Hak suami terhadap isterinya adalah tidak menghalangi permintaan suaminya kepadanya sekalipun sedang di atas punggung onta, tidak berpuasa walaupun sehari dengan ijinnya, kecuali puasa wajib. Jika ia tetap berbuat demikian, ia berdosa dan tidak diterima puasanya. Ia tidak boleh memberi sesuatu dari rumahnya kecuali dengan ijinnya (suaminya). Jika ia memberi maka pahalanya bagi suaminya, dan dosanya untuk dirinya sendiri. Ia tak keluar rumahnya kecuali dengan ijin suaminya. Jika ia berbuat demikian maka Allah akan melaknatnya dan para Malaikat memarahinya sampai tobat dan pulang kembali sekalipun suaminya itu zhalim.” (HR. Abu Dawud)
“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa sementara suaminya berada di rumah kecuali dengan izinnya, dan istri tidak boleh mempersilahkan seseorang masuk rumah kecuali dengan persetujuan suami.” (HR. Muttafaq’Alaih)
“Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah pernah bertanya: “Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku, sehingga aku mesti mengambil daripadanya tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda: “Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari, Muslim)
Ayat di atas menunjukkan bahwa hukum asal bagi suami-istri adalah sang suami memberikan nafkah kepada istri, sehingga dalam harta yang diperoleh suami, ada bagian yang harus diberikan kepada istri. Jika suami tidak memberikannya maka suami bersikap zalim, dan istri berhak untuk mengambilnya, sesuai dengan kebutuhannya.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Hindun binti Utbah mengadukan perihal suaminya (Abu Sufyan) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seseorang yang pelit. Dia tidak memberikan harta yang cukup untuk kebutuhanku dan anak-anakku, kecuali jika aku mengambilnya tanpa sepengetahuannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Ambillah hartanya, yang cukup untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu, sewajarnya.”
Ayat dan hadis di atas memberikan konsekuensi sebaliknya; wanita tidak berkewajiban memberikan hartanya kepada suaminya, karena harta istri berhak untuk dimiliki oleh istri, tanpa harus memberikan sebagian dari hartanya tersebut kepada suaminya. Dengan demikian, wanita berhak mengeluarkan hartanya untuk kepentingannya atau untuk sedekah, tanpa harus meminta izin kepada suaminya.
Di antara dalilnya adalah hadis dari Jabir bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berceramah di hadapan jemaah wanita, “Wahai para wanita, perbanyaklah sedekah, karena saya melihat kalian merupakan mayoritas penghuni neraka.” Kemudian, para wanita itu pun berlomba-lomba menyedekahkan perhiasan mereka, dan mereka melemparkannya di pakaian Bilal. (H.R. Muslim)
Kemudian, dalil yang lain adalah hadis riwayat Bukhari, bahwa suatu ketika, Zainab (istri Ibnu Mas’ud) hendak mengeluarkan sedekah dan dia memberikan sedekah tersebut kepada suaminya (Ibnu Mas’ud) dan anak yatim yang tinggal di rumahnya. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, silakan. Dia mendapat dua pahala: pahala menjaga hubungan kekerabatan dan pahala bersedekah.”
Untuk Suami..
“Saya bertanya kepada Rasulullah saw., siapakah orang yang paling besar haknya terhadap perempuan?.” Jawabnya: “Suaminya.” Lalu saya bertanya: “Siapakah haknya yang paling besar terhadap laki-laki?.” Jawabnya: “ibunya” (HR. Hakim)
Dari Mu’awiyah al-Qusyairi, ia berkata: “Saya bertanya, wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri dari kami kepada suaminya? Sabdanya: Engkau memberi makan kepadanya apa yang engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul mukanya. Janganlah engkau menjelekkannya, kecuali masih dalam satu rumah. (HR. Abu Dawud)
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah: 233)
“Berbuat baiklah terhadap istri kalian, karena wanita tercipta dari tulang rusuk. Sesungguhnya bagian terbengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau hendak meluruskannya, maka akan mematahkannya, dan jika engkau biarkan, maka ia tetap bengkok. Untuk itulah, berbuat-baiklah kalian kepada istri-istri.” (HR. Muttafaq’Alaih)
Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka; dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu perempuan-perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka bersalin. (QS. Ath-Thalaq: 6)
Dikatakan kepada Aisyah, “Apa yang dilakukan oleh Rasulullah di dalam rumah?” Dia menjawab, “Beliau membantu pekerjaan istrinya, dan ketika mendengar adzan, beliau langsung keluar.” (HR. Al-Bukhari)
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisaa’:34)
….hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah di dalam urusan perempuan. Karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kalimat Allah. Kamu telah menghalalkan kemaluan (kehormatan) mereka dengan kalimat Allah. Wajib bagi mereka (istri-istri) untuk tidak memasukkan ke dalam rumahmu orang yang tidak kamu sukai. jika mereka melanggar yang tersebut pukullah mereka, tetapi jangan sampai melukai. Mereka berhak mendapatkan belanja dari kamu dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim)
***
Untuk Istri..
“Jika aku boleh menyuruh manusia bersujud kepada manusia, tentu aku akan menyuruh perempuan bersujud kepada suaminya.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad)
“Tidak patut manusia bersujud kepada manusia, andai manusia boleh bersujud kepada manusia, maka aku perintahkan kepada wanita bersujud di depan suaminya, mengingat besarnya hak suami atas istri. Demi dzat yang jiwa ragaku berada dalam genggaman tangan-Nya, andaikata sekujur tubuh suami, dari kepala sampai kaki penuh dengan luka yang berdarah dan bernanah, lalu sang istri menjilatinya, dia belum dapat melunasi haknya.” (HR. Ahmad)
“Hak suami terhadap isterinya adalah tidak menghalangi permintaan suaminya kepadanya sekalipun sedang di atas punggung onta, tidak berpuasa walaupun sehari dengan ijinnya, kecuali puasa wajib. Jika ia tetap berbuat demikian, ia berdosa dan tidak diterima puasanya. Ia tidak boleh memberi sesuatu dari rumahnya kecuali dengan ijinnya (suaminya). Jika ia memberi maka pahalanya bagi suaminya, dan dosanya untuk dirinya sendiri. Ia tak keluar rumahnya kecuali dengan ijin suaminya. Jika ia berbuat demikian maka Allah akan melaknatnya dan para Malaikat memarahinya sampai tobat dan pulang kembali sekalipun suaminya itu zhalim.” (HR. Abu Dawud)
“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa sementara suaminya berada di rumah kecuali dengan izinnya, dan istri tidak boleh mempersilahkan seseorang masuk rumah kecuali dengan persetujuan suami.” (HR. Muttafaq’Alaih)
“Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah pernah bertanya: “Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku, sehingga aku mesti mengambil daripadanya tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda: “Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari, Muslim)
***
Allah berfirman,
yang artinya, “Wajib bagi
setiap suami untuk memberikan nafkah dan pakaian
kepada istri, dengan sepantasnya.”
(Q.S. Al-Baqarah:233)Ayat di atas menunjukkan bahwa hukum asal bagi suami-istri adalah sang suami memberikan nafkah kepada istri, sehingga dalam harta yang diperoleh suami, ada bagian yang harus diberikan kepada istri. Jika suami tidak memberikannya maka suami bersikap zalim, dan istri berhak untuk mengambilnya, sesuai dengan kebutuhannya.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Hindun binti Utbah mengadukan perihal suaminya (Abu Sufyan) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seseorang yang pelit. Dia tidak memberikan harta yang cukup untuk kebutuhanku dan anak-anakku, kecuali jika aku mengambilnya tanpa sepengetahuannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Ambillah hartanya, yang cukup untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu, sewajarnya.”
Ayat dan hadis di atas memberikan konsekuensi sebaliknya; wanita tidak berkewajiban memberikan hartanya kepada suaminya, karena harta istri berhak untuk dimiliki oleh istri, tanpa harus memberikan sebagian dari hartanya tersebut kepada suaminya. Dengan demikian, wanita berhak mengeluarkan hartanya untuk kepentingannya atau untuk sedekah, tanpa harus meminta izin kepada suaminya.
Di antara dalilnya adalah hadis dari Jabir bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berceramah di hadapan jemaah wanita, “Wahai para wanita, perbanyaklah sedekah, karena saya melihat kalian merupakan mayoritas penghuni neraka.” Kemudian, para wanita itu pun berlomba-lomba menyedekahkan perhiasan mereka, dan mereka melemparkannya di pakaian Bilal. (H.R. Muslim)
Kemudian, dalil yang lain adalah hadis riwayat Bukhari, bahwa suatu ketika, Zainab (istri Ibnu Mas’ud) hendak mengeluarkan sedekah dan dia memberikan sedekah tersebut kepada suaminya (Ibnu Mas’ud) dan anak yatim yang tinggal di rumahnya. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, silakan. Dia mendapat dua pahala: pahala menjaga hubungan kekerabatan dan pahala bersedekah.”
Si Istri bersedekah kepada suaminya
karena Ibnu Mas’ud adalah orang yang miskin, sementara istrinya
kaya. Allahu a’lam. *Terinspirasi
dalam khutbah jum’at 23 desember 2011 tentang hari ibu 22 desember
Comments
Post a Comment