Kebenaran yang sebenarnya

”Hakim yang terhormat..” seru seorang jaksa penuntut umum memulai tuntutannya.
”pantas bila terdakwa dihukumi pancung!
Saksi mata mengatakan saat pesawat bergemuruh karena masuk ke dalam awan, terdengar suara tembakan. Saat itu saksi mata yang seorang co-pilot langsung menuju ruang penumpang dan melihat dengan mata kepala terdakwa memegang pistol” lanjut jaksa penuntut pada kasus di pesawat pribadi dengan 2 orang penumpang.
”Kami belum menemukan hubungan terdakwa dengan korban yang merupakan tokoh politik tetapi kami memiliki bukti bahwa terdakwa telah merencanakan pembunuhan tersebut. Menurut rekan kerja terdakwa, terdakwa sedang terlilit hutang dan pada hari kejadian pembunuhan, rekan kerja tersangka melihat tersangka membawa pistol dengan terburu-buru menuju kekendaraanya”
”apalagi berdasarkan pengakuan tersangka, tersangka memang telah merencanakan pembunuhan tersebut!” dengan yakinnya jaksa penuntut umum mengurai semua bukti dan saksi mata agar tersangka mendapat hukuman setimpal.

”kami menuntut hukum pancung untuk tersangka!” ucap terakhir jaksa penuntut. Tegas!
Tersangka terlihat tenang. Tidak memperlihatkan reaksi apapun ketika tuntutan yang dapat mencabut nyawanya dibacakan. Tiba giliran jaksa pembela.
”Pak Hakim yang terhormat..
Baru kali ini saya mendapatkan klien yang tidak ingin dibela.
Baiklah, saya akan ceritakan bukti yang saya dapat. Pertama, ada dua buah surat. Surat pertama ialah dari kekasih tersangka yang bernama Merry. Isi surat tersebut ialah merry mengabarkan tentang keadaannya yang tak kunjung membaik bahkan menurut dokter, merry mengalami penyakit aplastik sehingga harus cangkok tulang belakang yang memerlukan biaya yang besar dan berobat di kota lain. Dalam surat yang kedua, merupakan surat balasan tersangka terhadap merry. Tersangka mengatakan bahwa dia akan tetap mencintai Merry. Bahkan ia mengatakan tak ada Merry artinya tidak ada dirinya. Karena besarnya biaya pengobatan, tersangka menghutang kesana kemari bahkan seluruh gaji tersangka habis untuk membiayai kekasihnya dan biaya pulang pergi dengan pesawat pribadi dari kota terdakwa ke kota tempat dirawatnya sang kekasih. Pada hari kejadian, tersangka mendapat kabar dari rumah sakit bahwa kekasih beliau telah meninggal. Dengan terburu-buru tersangka membawa pistol dan menuju kebandara serta menaiki pesawat yang bersamaan dengan korban. Ditengah perjalanan terdakwa merencanakan membunuh diri dengan menembak kepalanya. Pada saat bersamaan, pesawat memasuki awan sehingga bergemuruh dan bergetar. Gemuruh dan getaran itu membuat pistol tersangka meleset ke arah korban. Saat melihat korban terkapar, tersangka mendekati korban dengan kebingungan. Kemudian datanglah co-pilot melihat tersangka memegang pistol dan belumuran darah korban.
Korban mengaku merencanakan pembunuhan karena memang korban ingin bunuh diri. Saat jaksa pembela mengakhiri pemaparannya, tersangka yang dari tadi tampak tenang mulai menangis dan berguncang.
”dia bohong pak Hakim, dia bohong!” ucap tersangka sambil terisak.
”Pak Hakim yang terhormat, kebenaran adalah kebenaran sedangkan kebohongan adalah kebohongan. Jelas tidak ada hubungan atau motif politik antara tersangka dengan korban. Jelas bahwa kejadian pembunuhan ini adalah murni ketidaksengajaan”

Bayangkan jika cerita itu terjadi di Indonesia. Sebelum disidang pun, tersangka akan diumpat, dihina bahkan dipukuli. Apalagi setelah mendengar tuntutan jaksa penuntut umum. Tanpa berpikir mendalam, langsung, termasuk kita pun menyangka bahwa benar tersangka telah melakukan pembunuhan berencana dan pantas mendapat hukuman pancung. Kita pasti menghardiknya. Padahal, kita baru mendengar satu tuntutan saja. Kalau kita mencari kebenaran, maka kita dengarkan dahulu tuntutan satu lagi. Setelah lengkap barulah kita proses dalam pikiran kita, menimbang dan memutuskan siapa bersalah.
Hal ini yang sering terjadi di masyarakat. Fakta dapat menyesatkan. Adalah sebuah fakta bahwa tersangka menembak korban. Fakta adalah produk. Sedangkan nilai atau harga produk itu ditentukan dari bahan baku dan proses pengolahannya. Secara proses, tersangka tidak sengaja menembak.
Bandingkan, fakta: tersangka menembak korban. Benar, memang tersangkalah yang menembak. Tetapi, kenapa ia menembak? Tidak terjawab dalam fakta karena sang co-pilot hanya melihat sebuah fragment (bagian) dari film penembakan itu. Co-pilot tidak melihat awal kejadian hingga akhirnya.

Nyamuk terbukti merupakan salah satu vektor penyakit terbesar. Artinya dari semua hewan pembawa penyakit, nyamuk merupakan salah satu hewan yang paling 'berpenyakit'.

Secara fakta kita dapat mengatakan bahwa nyamuklah pembawa penyakit. Ia parasit dan tidak membawa keuntungan bagi manusia sama sekali. Itu menurut manusia. Tetapi, lihatlah banyak manusia yang hidup dari nyamuk bukan? Perusahaan obat nyamuk. Bukankah itu adalah sebuah kebenaran?

Comments

Popular Posts