Ulat di Sendal

“mama..mama!” teriak seorang anak kecil dihalaman rumah.
Sang ibu belum juga ngéh (baca:sadar). Jauh di dapur.
”mama..mama..maa!!” dengan ketakutannya.`
Sang ibu yang mulai merespon. Secepat kilat menghampiri. Dari dapur. Dengan tangan berlumur sabun cuci.
”ada apa de?” tergesah.
”iih...ada ulet ma..ada ulet..ada ulet..di sendal ade..” si anak kecil merasa jijik dan takut.
Mama menujukan matanya ke sendal. Seekor ulat daun. Hijau. Cukup besar. Disendal ade. Sedang menggeliat.
Segera diambilnya sandal. Diayunkannya ke batu. Dan desh!
Cairan hijau kekuningan tersemburat. Terpencar kemana-mana.  Ulat masih menggeliat se..dikit.
Kemudian... mati.
”Tenang de..ulatnya uda mati” ucap sang mama dengan napas tersengah. Seperti baru membunuh seekor ular saja. Senang.
”tapi ma..kenapa ulatnya dibunuh?”
”ulat bisa bikin kamu gatel-gatel, bentol...”
”tapi kan ngga harus dibunuh ma.., dipindah saja..”
***
Bunuh ulat. Itu yang biasa dilakukan orang tua juga kita. Saat ada ulat yang melintas ataupun menempel diperalatan kita.
Bukankah kita bisa memindahkannya saja. Tanpa membunuh. Toh itu hanyalah bentuk yang tidak kita sukai saja. Hingga nanti sang ulat akan menjelma jadi kupu-kupu. Bentuk yang cantik. Yang kita suka.
Beranikah kita berpikir beda. Melakukan sesuatu sesuai tempatnya. Bukan tempatnya membunuh ulat yang ’mampir’ hanya menyebabkan gatal dan bentol dengan memutuskan nyawanya.
Bisakah sebijak saran si ade. Dipindah saja ke daun. Tempat hidupnya. Artinya kita pun telah membantu ulat menemukan tempat yang cocok baginya. Baginya untuk...menjelma dan merubah dirinya. Menjadi bentuk yang kita sukai. Sebuah kupu-kupu. Yang terbang tinggi. Cantik dan indah.
***
Pasti suatu waktu ada seseorang yang seperti ulat. Terlihat menjijikan, menyusahkan, jelek baik penampilan maupun kelakuannya. Bertemu dengan kita.
Kita bisa berlaku seperti ibu. Membunuh seseorang itu. Memutus jiwanya atau membunuh karakternya. Memvonisnya bengis.
Hingga kita berperan dalam mempublikasikan orang itu jelek.
ah dia mah sampai kapanpun juga ngga akan berubah!”.
Seperti itu vonis kita terhadap orang lain. Sepertinya kita ini mengetahui akhir hidup seseorang saja.
Kita juga bisa berlaku seperti anak. Pindahkan saja orang itu. Dari lingkungan jeleknya ke lingkungan baik. Yang akan menjadikannya kupu-kupu.
Pindahkan pikiran sempitnya ke pikiran lebih luas, bertanggung jawab. Tunjukan jalan baginya. Antarkan ia ketempat yang pantas untuknya. Yaitu tempat yang sesuai dengan kesucian hati orang tersebut (yang juga sama dengan hati kita). Bukankah hati kita sama dengan hati mereka, ingin menjadi lebih baik. Ingin menjadi orang berguna. Bahkan penjahat manapun selalu ingin berbuat baik. Tapi mereka seperti orang yang tersesat disendal. Kemudian langsung dibunuh karakternya. Yaitu dicap sebagai penjahat. Makin jadilah (baca:bertambahlah) jahatnya.
***
Kisah ulat di sendal dapat kita lihat di sebuah desa di ciseeng. Disana ada arena pacu adrenalin baru. Arena motocross. Ah biasa kalau dilihat pada saat kita berkunjung ke sana. Biasa seperti motocross di TV. Tapi ketahuilah proses terbentuknya arena tersebut.
Warga desa sekitar terkenal sebagai tukang palak (meminta pungutan dengan paksa), tukang ribut, dan pada umumnya pendidikannya rendah. Seorang warga bernama dr. Halim resah dengan keadaan tersebut.
Sebelumnya, dr. Halim juga memiliki jasa fasilitas outbond yang hampir 100 orang tiap bulan memakai jasanya. Tak sekedar memikirkan bisnis pribadi, dr. Halim terpikir bagaimana caranya masyarakat sekitar juga dapat bangkit perekonomiannya. Ciseeng terkenal dengan potensi perikanannnya. Coba saja maen ke sana. Banyak kolam ikan. Nah, bisa tidak ya para pengunjung outbondnya juga dapat ’membeli’ ikan masyarakat. Bagaimana caranya?
Dr. Halim akhirnya terpikir untuk menggunakan konsep desa wisata. Sederhananya, semua pengunjung outbondnya nanti diajak berkeliling desa. Dibeberapa jarak ada tempat yang jual berbagai makanan seperti makanan khas ciseeng, gorengan, dan aneka minuman. Di tempat lain/di rumah warga lain, yang jaraknya lebih jauh menyediakan pernak-pernik. Lebih baik lagi, setiap pembelian dilakukan dengan kupon. Nanti di shelter pembelian terakhir ada cashier tempat membayar.
Alhasil bertambah ramailah pengunjung outbond dan meningkatlah perekonomian warga.
Lalu apa bagaimana dengan arena motocross?
Setelah warga sekitar outbondnya merasakan manfaat, dr. Halim merasa khawatir dengan beberapa warga lain yang terkenal ’jahat’ dan berada tidak jauh dari warga sekitarnya. Pada suatu kesempatan dr. Halim memberanikan diri untuk menantang para tukang ’palak’ itu.
”berani gak kalian membuat track motocross di sini” sambil menunjuk suatu areal tanah yang baru saja dibebaskan (baca:dibeli) yang mencapai setengah hektar.
”siapa takut, mau bayar berapa?” tanya para tukang palak. ”cukup untuk makan kalian atau setara penghasilan ojek kalian harian” ucap dr. Halim.
Setelah track selesai, dr. Halim menantang mereka untuk menghadirkan atraksi seru motocross karena dr Halim mengerti bahwa mereka itu orang yang memiliki kelebihan rasa berani, ke’banyak’an adrenalin dan nyali. Pokoknya serba kelebihan! Karena tidak mungkin mereka melakoni tukang ’palak’ kalau tidak memiliki kelebihan nyali.

Alhasil, arena tersebut menjadi ramai dikunjungi. Para tukang palak berganti profesi jadi ’artis’ motocross yang sesuai dengan bakat nyali mereka. Penghasilan mereka lebih besar mereka pun senang melakoninya. Memang besar biaya untuk memberdayakan dan mengubah mereka tetapi itu semua terbayar dengan manfaat besar yang dirasakan masyarakat, manfaat paling kecil adalah rasa aman dari para tukang ’palak’. Begitulah para ’ulat’ diletakkan pada tempatnya.

Comments

Popular Posts