Sebuah Cerpen Kisah Nyata: Santri Detektif
Santri Detektif
Di sebuah pondok pesantren. Pagi hari. Waktunya untuk
ribut dan berebut kamar mandi. Maklum jumlah kamar mandinya ga ideal. Santrinya
ada tiga puluh orang, kamar mandinya cuma ada empat buah. Ga ideal kan? Duh.. suka bikin sebel kalau lagi ngantri.
”Napa ustadz ga bikin kamar
mandinya sama kaya jumlah santrinya sih? Uda jam enam lima belas nih!” gerutu
seorang santri pelan.
”Pertanyaan yang ga perlu dijawab” kata Herman tiba-tiba menyahut.
Paling cuma keinginan sesat. Eh salah, maksudnya keinginan se-sa-at. Salah
sendiri telat bangunnya. Hmm..
Beberapa santri yang kuliahnya jam tujuh mulai khawatir. Makin ribut aja di
sekitar kamar mandi. Beberapa santri yang ngantri kadang menggedor santri yang
mandinya lama sekali.
”akhi..cepetan!” teriak Rusman. Mahasiswa ekonomi
”iya bentar..” jawab sarjana ikan, Aqil.
”antum lagi ngapain sih lama banget?” kata Rusman
ga sabar
”lagi setoran akh..sakit perut neh. Kamar
mandi yang lain aja..”balas Aqil.
”waduuh..akhi cepatan..ana kebelet neh. Kamar mandi lain juga penuh yang
ngantri..” bujuk Rusman. Soalnya selain kebelet, dia yang termasuk kuliah jam tujuh!
Kalau santri yang lain sih tenang-tenang saja ngantri. Mereka semua bawa handuk dan alat mandi sendiri. Sambil nunggu.
Ada yang duduk dekat tempat wudhu yang beberapa meter di depan kamar mandi. Kadang
yang duduk ini sambil mencicil mandinya. Mereka sikat gigi dulu. Cuci muka
dulu. Ada juga yang keramas dulu. Terus, ujung-ujungnya ga mandi deh. Biasanya yang sering kaya gini si Imamo,
tetangga kamar Herman. Dia tipe santri gamers. Suka maen game terus.
Mpe malam kadang-kadang. Duh!
Ada santri sarung, lebih tepatnya santri sarung bantal alias tukang tidur atau
dikalangan santri lebih dikenal sebagai Abu Naum. Mereka ini diantaranya
si Rusman. Makanya dia sering sekali telat. Bukankah rugi kalau telat? Dia kan
mahasiswa ekonomi seharusnya bisa hitung harga waktu dong?!
Unik memang penghuni pondok pesantren Al-Inayah ini. Mereka semua adalah
mahasiswa. Nama pesantrennya saja Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Inayah yang
lebih dikenal sebagai PPM Al-Inayah.
PPM berdiri dilingkungan masyarakat sekitar kampus, di sebuah kampus negeri
ternama. Karena berada di sekitar penduduk pribumi, sering terjadi pencurian.
”ronda kita harus digencarkan lagi, masa dalam
sebulan 2 kali kemalingan?” tutur Herman, santri senior.
”pasti warga lagi” lanjutnya.
”koq gitu ka?” tanya Rusman, santri baru.
”ya, biasanya begitu. dulu sih pernah kejadian
tapi karena yang mencuri anak SMP yang sering maen ke sini, kita lepas saja.
Dari anak itu kita tau kalo dia itu disuruh oleh orang tuanya yang warga sini’
PPM memang jadi incaran empuk pencuri. Pencuri tahu saja kalau beberapa
mahasiswa yang nyantri ada yang membawa barang berharga seperti Hp, laptop, dan
motor. Seperti kejadian 2 bulan lalu yang menimpa Inda, santri senior pula.
”kuncinya dijebol, kayanya pake obeng” kata Inda
yang baru kehilangan laptopnya.
”tuch maling berani amat ya? Tapi agak aneh ya?”
tanya Herman pada diri sendiri.
”aneh gimana ka?” jawab salah satu santri
”ya biasanya kan diantara kita ada yang telat
sholatnya. Jadi kan waktu wudhu seharusnya kelihatan tuch maling..” analisis
Herman. dia mengherankan kemalingan itu. Pasalnya, itu terjadi waktu sholat
maghrib. Apalagi kamar Inda itu dekat tempat wudhu.
”Artinya, semua santri yang wudhu pasti lewat
kamar ini kan?” lanjut Herman.
”sebenarnya kalo laptopnya ilang ga apa, tapi
skripsi ana di sana..” kata Inda yang
kebingungan karena dia tidak punya data back
up skripsinya.
Banyak kasus yang tidak tak terungkap. Tapi, keluarga santri punya sangkaan
bahwa yang maling itu warga sekitar. Wajar, karena PPM adalah jalan pintas ke
jalan seberang. Kalau tidak lewat PPM, bisa muter-muter dan makan waktu 10
menit. Banyak yang lewat PPM mulai dari warga, pedagang, tukang sampah,
anak-anak, bahkan mahasiswa lain..puh! jadi malingnya diantar mereka?
***
‘ayo man..”
panggil Herman
“bentar ka..ana belum mandi” sahut Rusman.
“mandinya dicicil
aja man..kaya ana” seru Imam yang
sudah membonceng Aqil di motornya. Herman dan aqil jadi tertawa.
Sesaat setelah rusman datang,
herman mengusulkan strategi.
“nanti yang masuk
ke rumahnya, ana dan rusman ya. Ente
bedua belakangan ya? Sambil menunjuk ke Imam dan Aqil
“oh sip! Paham
ka!”jawab Imam dengan yakin.
“mang paham apa?”
“ya paham kalo
kita nanti masuknya belakangan”
“Grr...bukan itu!”
kata herman sedikit kesal. “kalian kan saksi kunci, ya uda liat aja nanti”
Kali ini mereka mendapat kasus. Hp
Rusman hilang.
Seperti biasa maling itu ada
musimnya. Terutama musim ujian. Dimana para santri mahasiswa PPM menjadi
lengah. Kasihan si Rusman sudah mau ujian, Hp hilang lagi..
***
“kalau begitu, urang ka1 kantor
polisi saja bagaimana pak?” kata Herman yang punya bisa bahasa sunda sedikit-sedikit.
“Hayu..urang ma teu nyaho naon-naon iyeuh2”
tantang pak Hasan. Tukang sampah yang sering lewat PPM.
Herman mikir-mikir lagi. Sebenarnya ajakan ke kantor polisi cuma gertak
sambel saja. Dia mencoba diplomatis. Karena mereka sedang di kampung orang. Kalau salah ngomong dan tuan rumah, pak Hasan, teriak, bisa mampus mereka.
“Sumpah demi Allah! urang wani nincak3Al-Qur’an,
kalau ade teu4 percaya mah ” ucap pak Hasan lagi.
Herman, Aqil, Rusman dan Imam jadi naik bulu kuduk dan beristighfar. Naik
buluh kuduk atas sumpahnya dan beristigfhar atas ucapannya yang berani mengijak
Al-qur’an. Kalau mau bersumpah dengan Al-qur’an, cukup Al-qur’an ditaroh di atas
kepala bukan diinjak. Kecurigaan mereka pun surut.
Ini kalimat yang besar. Besar dosanya jika berbohong dan besar dosanya
menuduh orang yang sudah bersumpah demi Allah. Kecuali sumpahnya bohong.
Apalagi mereka tidak punya bukti di tempat kejadian perkara. Hanya dugaan.
Keinginan mengusut pun hampir surut
karena saat pertama kali melihat
Rumah pak Hasan saja dia terhenyak. Rumahnya cukup besar. Tapi, terbuat dari batako. Itupun belum diplester
dengan semen dan beberapa bagian dari bilik yang sudah banyak lubang di
sana-sini. Tirai pemisah antar ruang saja sudah tidak berfungsi. Banyak
sobeknya.
Sebenarnya Rusman pun awalnya tidak mau mendatangi
rumah tukang sampah itu. Bahkan dia sudah berucap “ya uda deh, ana ikhlaskan saja ka”.
Tapi karena Herman bilang “ya akhi,
kita harus rebut kembali hak antum, agar pelakunya ga melakukan lagi”
“Tapi ya sudahlah ka, ikhlaskan saja” kata Rusman
sekali lagi.
Herman tetap membujuk Rusman untuk merebut kembali Hpnya.
“Man kan kita sudah dapat hadits, tolonglah orang
yang mendzolimi dan yang didzolimi.
Mengapa nabi bilang begitu? Harusnya orang yang didzolimi yang kita tolong kan? Lalu Kenapa? tanya
Herman dengan nada yang penanya
sudah tau jawabannya.
“apa Nabi salah ya akhi?” lanjut Herman halus.
“Tidak salah ya akhi, Nabi menyuruh kita menolong orang yang mendzolimi kita dengan
mencegahnya, dengan menasehatinya agar ia tidak melakukan lagi, agar dia tidak
mendzolimi lagi dirinya dan orang lain” jelas Herman panjang.
Karena penjelasan panjang itu, berangkatlah Herman dengan Rusman, dan dua
orang temannya, Aqil dan Imam dengan dua motor. Soalnya, rumah pak Hasan cukup
jauh dari PPM. Alamatnya pun mereka dapat dari bertanya pada beberapa orang.
Mereka berempat membawa beberapa dugaan kuat. Bahkan
sebelum berangkat mereka mencoba merokonstruksi kejadian. Seperti detektif
saja, Rusman diminta menceritakan kembali kejadiannya agar mereka bertiga paham
apa yang akan dibicarakan di rumah pak Hasan.
“Saya dan Imam kan ada ujian jam 1. Kita belajar
di Aula Depan. Sekitar jam 8 hingga
jam 11. Nah, terus jam 11 ana keluar
buat beli sayur di warung bu
Aas. Hp, ana tinggal di Aula. Imam juga di Aula. Waktu
ana pulang, ana langsung ke dapur” jelas Rusman.
Dia masak di dapur PPM yang dekat kamar mandi yang berjarak lima kamar dari
Aula Depan.
“terus ana
ke kamar, Imam sudah di kamar. Dia lagi ngetik terus ke kamar mandi. Saya ke Aula lagi. Pas ke aula, Hp sudah ga ada. Saya
cari-cari di kolong meja, terus dikamar siapa tau dibawa Imam, ternyata ga ada.
Pas Imam selesai mandi. Saya tanya, Imam ga tau”
“Iya ka, ana
ga perhatiin kalau Rusman ninggalin Hp di aula.
Langsung aja ke kamar buat siap-siap ujian” sambung Imam. Dia juga merasa
bersalah. Tapi memang dia ngga ngeh.
“Terus..” kata Herman.
“Saya nanya ke Imam, lihat orang yang lewat
depan kamar ga? Kata Imam, dia lihat ada bayangan orang pakai peci terus bawa
karung besar. Kaya tukang sampah yang sering ke sini itu lho ka” lanjut Rusman.
Kamar Rusman memang berjejer dengan empat kamar lain di jalan kecil
mau ke Aula. Tapi ada satu jalan lagi untuk menuju ke Aula Depan. Jalan ini
yang terhampar disepanjang jejeran kamar yang membelakangi kamar rusman.
Jadi jejeran kamar satu membelakangi jejeran lain.
Ini yang bikin mereka pusing. Bisa jadi bukan tukang sampah berpeci
itu. Tapi ada orang lain yang lewat jalan satunya.
“Ya sudah akhirnya kita coba keluar, cari tukang sampah itu. Kita ketemu
dia di dekat rental yang di depan itu. Yang aneh ka...”kata Rusman menekan
nadanya.
“waktu kita tanya, ‘bapak tau...?’ belum selese
kita ngomong, tuh bapak bilang ‘ngga..ngga’ kita kan jadi
lebih curiga” kata Rusman.
Apalagi waktu Imam menanyakan dia lewat belakang, yaitu depan kamar dia, atau
ngga dia, bapak tukang sampah bilang ‘ngga..cuma lewat saja’.
Bahkan ketika Imam menyumpahi “bapak berani mati di jalan ya kalau bohong?”
bapak itu bilang. “Benar..demi Allah”.
Waktu itu mereka ga punya bukti
kuat terus ada sumpah demi Allah juga dari bapak. Akhirnya mereka minta maaf
dan pamit pulang ke PPM lagi. Imam berpikir, apa dia salah lihat ya tentang
bayangan orang berpeci. Kan bapak itu memang sering lewat situ. Rusman pun
menambahi mungkin bukan dia, bisa jadi orang lain yang lewat pintu satu lagi.
Mereka jadi merasa serba salah.
Pas di PPM, barulah
mereka bertemu Aqil yang baru selesai mandi. Aqil pun ditanya apa melihat orang
yang lewat sekitar PPM selain tukang sampah. Aqil bilang cuma lihat tukang
sampah itu.
Bahkan tukang sampah itu sempat menanyakan ada koran atau kertas bekas ke Aqil,
yang kamarnya berjarak satu kamar dari kamar Rusman dan
Iman. Kemudian tukang sampah itu menuju Aula Depan menurut keterangannya.
Dari rekonstruksi itu, mereka merumuskan dugaan. Dugaan pertama
dan saru-satunya, alibi atau alasan bapak tukang sampah
yang bilang dia cuma lewat saja itu tidak benar. Imam saksi bahwa dia
lewat jejeran kamar belakang walau Cuma melihat baying-bayang dari tirai
kamarnya. Tapi, ada Aqil yang berpapasan muka dengannya.
Dugaan kedua, muncul setelah mereka
sudah di dalam rumah pak Hasan.
“ka..anak-anaknya
banyak?” bisik Rusman
“mang kenapa?”
“ana kan uda coba telpon ke Hp ana, cuma kedengar suara ibu-ibu gitu dan banyak suara anak-anak”
Herman mengerti. Dugaan semakin
kuat.
Mungkin yang mengangkat telpon Rusman adalah istri pak Hasan dan suara
anak-anak adalah suara anak-anaknya yang berjumlah 4. Itu pun baru yang
kelihatan 4 anak, mungkin lebih.
Sesuai rencana, Herman dan Rusman masuk duluan. Duduk dikursi yang sudah
sobek-sobek. Herman jadi ingat masa keluarga dia dulu. Dia coba berempati dan
menyesuaikan bahasa dengan yang empunya rumah. Karena ini daerah Sunda. Herman
mencoba bicara pakai bahasa sunda agar si bapak mengerti dan bisa terketuk hatinya,
mengaku. Karena bahasa bisa mendekatkan.
Herman ingat bahwa teman SMAnya pintar sekali berbahasa daerah. Waktu temannya
beli makan di warung yang penjualnya orang jawa, dia pakai bahasa jawa.
Alhasil, jumlah nasinya dibanyakin. Masalahnya Herman ga punya kemampuan
itu. Tapi dia tetap coba.
Sebenarnya dia punya darah Sunda dari ayahnya. Sebenarnya lagi, harusnya yang
ngomong ntu Rusman, yang tau lebih didetail tentang
masalah ini. Tapi karena Rusman bilang dia ga bisa ngomongnya dan
Herman adalah orang yang dituakan, terpaksa deh.
“Punten pak, abdi jeung babaturan bade silaturahmi5”
Bahasa standar introducing ala sunda.
“Mangga..6” kata pak Hasan yang tepat
dihadapan muka Herman.
“Ini pak kami, ini ingin menanyakan lagi, oia
sebelumnya bapak kan memang sering ke PPM ya pak?” tanya Herman dengan halus untuk
membuka diskusi, Herman dulu pernah juga bertatap muka dengan pak Hasan ini.
Jadi tidak begitu baru.
Pak Hasan menjelaskan bahwa dia cuma lewat kamar jejeran depan. Tidak ke jejeran belakang. “Terus balik...”jelas Pak Hasan.
Langsung saja Herman hantam. Iman dan Aqil diminta untuk masuk. Memang strategi Herman untuk masuk
bergiliran untuk mencounter perlawanan dan alibi pak Hasan. Tidak banyak berubah ekspresi pak Hasan
melihat Aqil yang jelas-jelas bicara dengannya di jejeran belakang kamar.
Aqil hanya diam, memang dia tidak bisa berbahasa sunda juga sih. Pak Hasan tetap
kukuh dengan pendiriannya. Walau sudah jelas ada saksi yang melihat pak Hasan
lewat belakang terus ke Aula. Saksi yang mematahkan alibi-nya. Herman dan kawan-kawan tetap tidak bisa berbuat lebih.
Mereka belum menemukan bukti yang diperlukan. Pertama Hp, kedua, orang
yang benar-benar melihat pak Hasan mengambilnya di Aula Depan. Walau
dugaan-dugaan begitu mengarah padanya.
***
|
“Sumpah demi Allah!
urang wani nincak Al-Qur’an, kalau ade teu percaya mah”
ucap pak Hasan untuk ke ketiga kalinya. Innalillahi ucap Herman dalam hati. Tapi Herman takut juga
kalau salah menuduh, dosa besar neh. Pak Hasan pun beberapa kali suaranya
meninggi seperti mau marah.
Herman mencoba mencairkan suasana kalau sudah begitu. Nanya berapa anaknya
lah, berapa istrinya, eh yang itu ngga. Saat bertanya seperti itu, Herman
dan kawan-kawan mulai timbul iba. Pak Hasan cerita istrinya sakit, anaknya juga
sedang sakit.
Awalnya Herman dan kawan-kawan tidak percaya, bagaimana mau percaya dengan
orang yang sudah jelas-jelas, diduga besar, berbohong. Hingga
istri pak Hasan, yang sambil batuk-batuk, keluar kamar turut nimbrung. Istrinya menanyakan apa yang terjadi.
Kemudian dijelaskan dari awal. Tentang alibi
pak Hasan, saksi-saksi, tapi dengan cara lebih santun lagi. Takut membebani
pikirannya.
Sebelum istrinya menanggapi,
istrinya sempat bilang bahwa suaminya itu orang jakarta, betawi. Jiaah! Herman merasa percuma dari tadi ngomong pakai bahasa sunda. Ga efektif komunikasinya. Kemudian, istri
pak Hasan mengatakan tidak tahu menahu soal Hp. Ada juga Hp punya
anaknya.
Mia nama anaknya yang baru kelas 6 SD membawa Hpnya keluar
menunjukkan pada Herman dan kawan-kawan. Bukan itu Hp Rusman. Dugaan-dugaan
kini menjadi lemah.
Mereka malah mengganti topik pada keadaan keluarga pak Hasan. Ternyata
istrinya baru 4 bulan-an melahirkan. Bayinya pun dalam keadaan sakit.
Saat mau pulang, Herman hanya menjelaskan bahwa keadaan mahasiswa tidak
semuanya mampu juga menjelaskan betapa berharganya Hp itu untuk Rusman
agar ibunya dapat mengetahui kabar Rusman. Semuanya dalam bahasa Indonesia.
Kapok dia pakai bahasa sunda. Setelah itu, mereka minta maaf jika ada salah
salah kata dan pamit pulang.
***
“kefaqiran7 dapat membawa pada kekufuran” kata ustadz
yang mengisi ta’lim atau pengajian ba’da maghrib. Ta’lim diwajibkan bagi penghuni PPM. Cuma 2 kali, yaitu ba’da maghrib dan ba’da shubuh.
Ustadz bercerita dalam suatu riwayat di zaman nabi Musa
a.s. Ada seorang miskin, yang hanya punya pakaian pada dirinya. Dia mendatangi
nabi Musa a.s dan meminta beliau untuk mendo’akan dirinya agar menjadi kaya.
Nabi musa a.s mengatakan “bersyukurlah”. Orang miskin itu pun bilang, “mengapa aku harus bersyukur? pakaian pun aku hanya
punya selembar ini saja”.
Kemudian datanglah seorang kaya, karena saking kayanya, dia merasa bosan
dan merasa sangat disibukkan dengan hartanya. Dia pun meminta pada Nabi Musa
a.s untuk menjadi miskin. Nabi mengatakan “janganlah engkau bersyukur”. Orang
kaya mengatakan, “mengapa aku tidak boleh bersyukur? Allah telah memberi aku mata,
telinga dan nikmat lainnya”.
“Kemudian apa yang terjadi?
Orang miskin itu bertambah miskin bahkan tidak memiliki baju lagi
sedangkan orang kaya itu dia bertambah kaya” jelas Ustadz. Ustadz menutup ta’limnya dengan membacakan surat Ibrahim ayat 7.
Ta’lim maghrib itu membawa hikmah yang banyak bagi para
santri, terutama bagi mereka yang hari ini mendapat musibah. Selepas kunjungan
ke rumah pak Hasan, timbul beberapa pertanyaan dibenak mereka, mengapa
berani-beraninya pak Hasan bersumpah demi Allah dan bersumpah dengan menginjak
Al-Qur’an untuk mempertahankan Alibinya?
Apa karena kefaqiran mereka? Apakah karena kebodohan mereka?
Pertanyaan itu memenuhi benak Herman hingga penjelasan ta’lim tadi. Mungkin pak Hasan tidak mengerti
cara bersumpah yang benar dan itulah yang dimaksud bentuk kekufuran karena
kejahilannya.
Herman pikir dia juga
sepakat dengan anjuran iklan Tantowi Yahya, yang menjadi Duta Baca Indonesia. Tidak
ingat lengkapnya seperti apa, dia mengatakan “...kebodohan dekat dengan
kemiskinan” mungkin karena mereka miskin dan ‘jarang baca’ atau bodoh atau tidak
berilmu.
Rusman pun sudah mengikhlaskan Hpnya. Yang penting sudah berusaha
merebut haknya kembali begitu pikiran di benaknya. Kini ia mulai mengumpulkan
uang lagi untuk beli Hp. Sulit bagi seorang mahasiswa jika tidak
memiliki Hp sulit untuk akses informasi.
***
|
Keesokan harinya,
sekitar jam 8 pagi. Rusman sedang berjemur di dekat tempat wudhu yang berada di
depan kamar mandi. Kemudian dia melihat ada sesosok, pakai peci dan bawa karung
menuju ke arahnya.
“Pak Hasan lagi, ngapain dia kesini?” Pikir Rusman. Tapi Rusman yang murah
senyum menyambutnya.
“aya naon pak?” tanya Rusman
basa-basi pakai bahasa Sunda
“ini punya ade bukan?” kata pak Hasan sambil
membuka bungkusan plastik hitam. Terlihat sesuatu yang dikenal oleh Rusman.
“iya Pak, ini punya ana? Bapak nemu dimana?” jawab Rusman memegang Hpnya.
“bapak semalam, gara-gara ade datang, jam 10 malam
ke tempat pembuangan sampah di Sawah Baru, pakai senter, nyariin Hp Ade, eh nemu di sana” jelas pak Hasan.
Rusman yang tau pak Hasan ngeles,
atau masih tidak mau mengaku, pura-pura tidak mengerti.
“wah terimakasih pak sudah menemukan Hp ana” kata Rusman santun. Pak Hasan pergi.
Kemudian, Rusman ke kamar Herman menceritakan Hpnya
sudah kembali lagi. “oh…ternyata kalo orang miskin yang bodoh gaya
malingnya begitu ya?” seru Herman sambil terheran-heran.
“iya ya ka..”
jawab Rusman menguatkan. “kalo yang maling orang pintar, pasti bukan Hp ka yang
dicuri, dan pasti gayanya lebih..lebih mengesalkan!” serunya. Mereka pun
tertawa.
Banyak kasus pencurian di PPM. Tapi yang dialami Rusman
ini unik. Pencurinya mengantarkan kembali barang curiannya. Sebagai tanda
syukurnya, Rusman dan Herman suatu saat mendatangi lagi rumah pak Hasan,
membawa amplop yang berisi sejumlah uang. Mereka jadi memaklumi peristiwa
pencurian itu dan paham makna hadits nabi “tolonglah orang yang didzolimi dan yang
mendzolimi”
Oleh: Dudung Angkasa
Cerpen ini dibuat tahun 2011, berdasarkan kejadian nyata. Nama Tokoh ada yang memang sebenarnya :)
Cerpen ini pernah disubmit ke Annida-Online, tetapi direjek -_-.
Arti dari percakapan bahasa sunda dapat dilihat dibawah ini:
1 kita ke 2 ayo..saya tidak tahu apa-apa ini!
3 saya berani menginjak 4 tidak
Comments
Post a Comment