Begini caranya yang muda bersikap terhadap yang tua

Ada seorang kakek tua, rentah sudah umurnya, bongkong sudah punggungnya, begitu juga dengan tongkatny. Kakek itu lewat disebuah gang. Kemudian, lewat dua orang pemuda. Mereka dibelakang sang kakek.
Pemuda pertama sepertiny ingin buru-buru. Melihat kakek tua yang berjalan lambat itu, ia segera melintas dengan membungkukan badannya terlebih dahulu, sambil bilang “permisi kek”. Pemuda kedua pun sepertinya buru-buru juga, ia pun melakukan hal yang sama tapi ditambah iringan senyum pada si kakek.

Tapi, pemuda pertama berbisik dalam hatinya “lambret banget sih ni kakek tua” terus ketika ia melewati hatinya pun berbisik “dasar kakek tua bongkok!”. Bungkukkan pemuda tadi sebenarnya bermaksud untuk menghina bongkoknya si kakek.
Pemuda kedua, lain dihatinya. Hatinya berkata “masya Allah si kakek neh, umurnya bisa sampai kakek-kakek, nah gue? Belum tentu sampai pada umur itu, bisa jadi umur 30 tahun nyawa gue uda distop!...” makanya si pemuda itu mengiring senyum ketika lewat, mudah-mudahan ada barakah yang didapatnya dari senyum pada si kakek. Dan ia pun berharap, mudah-mudahan jika ia sampai usia itu, akan ada pemuda yang melakukan hal sama seperti yang ia akukan pada si kakek ntu.
                                                                 ***
Orang tua kita, lihatlah mereka, entah yang berumur 40, 50, 60, 70 dst, mereka sudah mencapai umur itu, kita? Belum tentu... bro!
Maka harusnya, ada rasa takjub ketika bertemu mereka. Ada rasa syukur melihat mereka dan ada rasa cinta pada mereka.
Orangtua kita, ketika kita meminta sesuatu pada mereka untuk kepentingan kita sendiri, ingat kepentingan kita sendiri. Apa sih yang orangtua kita pikirkan? Mereka berpikir kalau anak yang ini dikasih, anak yang lain pasti minta juga? Ya, buat orangtuanya yang mampu mungkin no matter, tapi untuk yangpas-pasan, ketika si kakak minta dibeliin laptop, si adik juga ngga mau kalah. Padahal gaji ortu baru cukup untuk bayar hutang, bayar listrik, beli sembako.
Kalau kita meminta pada mereka untuk keperluan kita sendiri, ibaratnya pikiran kita cuma satu cabang. Mereka, orangtua kita bercabang bisa lima cabang, lebih malah! Mereka mikirin gimana nanti si adik klo nda diberi, gimana bayarin si bungsu, gimana hutang kemarin, gimana bayar kontrakan, gimana nabung buat beli ini, beli itu.
Nah, brother and sister!
Apalagi kita sudah mengenyam pendidikan lebih tinggi dari mereka, harusnya kita lebih mengerti mereka.  Kita, sudah seumur ini, belum berbuat baik pada mereka, atau memberi sebagian dari gaji kita, atau memberi sesuatu yang menyenangkan bagi mereka, lalu janganlah ditambah kita malah berbuat jahat pada mereka.
               “jika kita tidak bisa berbuat baik pada orang tua kita maka minimal jangan berbuat jahat pada mereka”
Jika kita belum bisa memberi mereka, jika belum bisa menyenangkan mereka, minimal jangan menyulitkan mereka. Minimal jangan menyulitkan mereka. Lebih bagus kalau bisa meringankan atau membantu mereka. Minimal kita tidak jahat pada mereka, mereka yang melahirkan kita penuh harap!
Minimal sekali dan satu sikap minimal bagi kita untuk mereka ialah: Menjaga nama baik mereka
Untuk menjaga nama baik mereka, jangan mencela orangtua orang lain , karena ia akan mencela pula orangtua kita.Orangtua kita sering menyebut nama kita pada teman-temannya. Mereka juga membanggakan kita pada teman-temannya. Mereka membanggakan kita sebagai harapan mereka kelak. Siapa yang lebih membanggakan kita selain orangtua kita?dan mereka sedih jika kita berbuat asusila atau amoral, karena nama mereka pun akan turut terusut. Jagalah nama baik keluarga kita, ya minimal kita menjaga nama baik mereka jika kita belum bisa berbuat baik pada mereka.


Untuk mudah menjaga nama baik mereka, ingatlah saat bersama mereka, senang maupun sulit. jika kita tidak ingat, mana bisa kita menjaga nama baiknya. juga, cobalah tanya, bagaimana ayah dan bunda dulu bertemu, tanyalah, mereka mungkin akan tersipuh ketika menceritakannya. bisa jadi juga cerita itu menjadikan kita lebih kenal akan sosok mereka. dan menanyakan masa muda mereka dapat menjadikan mereka senang, mereka juga mungkin ingin mengenang masa-masa mudanya, dan mungkin juga dicerita itu mereka akan membagi kita sebuah hikmah, pelajaran.:) cobalah..dan dengarkan saja, jangan menilai, dengarkan saja dulu

***
Seorang anak, merawat orangtuanya dengan harapan orangtuanya cepat mati. Tapi tahukah kita? Bahwa orangtua kita merawat kita dengan harapan agar kita hidup! Tanpa adanya harapan, seorang ibu tidak akan mau membesarkan anaknya. mereka merawat kita dari lemah menjadi kuat dan hidup sedangkan kita? merawat mereka dari lemah sampai..:(
Ingatkah kita ketika kita merengek atau menangis waktu kecil? Ibu kita entah berada dimana langsung datang menemui kita. Jika mendengar kita sakit atau kena musibah walau hanya kejepit, mereka sebegitu khawatirnya dengan kita. Kita pada mereka?
Mereka, orangtua kita, yang sudah mulai memudar kegagahannya, sudah diperas keringatnya, sudah hampir habis pula tenaganya, tapi kasih sayang mereka semakin bertambah pada kita. Mereka selalu merindui kita, jangan heran jika mereka sering menelpon kita hanya untuk menanyakan kita sudah makan atau belum. Jangan heran jika mereka bertanya apa yangkita lakukan, bertanya apa ada masalah, jangan heran, itulah perhatian mereka.
Lalu, sebaliknya. Bagaimana perhatian kita pada mereka? Pernahkah kita yang menanyakan pada mereka “Bu, sudah makan belum?”, “Ayah, mau tidak dibuatkan teh?”. Jika orangtua kita baik ayah maupun ibu tidak segan mencium pipi kita, walau kita merasa risih, sebagai tanda sayang mereka. Bagaimana dengan kita pada mereka? Pernahkah mencium kedua pipih mereka yang tidak lagi kencang? Sebagai tanda cinta kita pada mereka?

Pernahkah kita?
Apa yang kita minta semenjak kecil, mereka telah beri sesuai kesanggupan mereka. Bayangkan perasaan mereka, saat melihat anak orang lain jajan, sedangkan anaknya tidak. Mereka pun menangis! Bayangkan ketika mereka melihat anak orang sekolah atau kuliah sedangkan anaknya tidak, mereka miris. Tapi, mereka bagaimanapun, telah melakukan usaha sesuai kemampuan mereka. Tapi kini, wahai brother and sister, kita sudah besar, tenaga mereka sudah berpindah pada kita, pendidikan kita lebih dari mereka, kita muda dan belum banyak pikiran seperti mereka, sudah waktunya bagi kita untuk berbuat baik pada mereka. Sudah waktunya kita memikirkan mereka, sudah waktunya kita memperhatikan mereka.
Jika perhatian mereka akhir-akhir ini mulai berkurang, janganlah kita marah atau palingkan muka, harusnya kita mulai berpikir, ada apa dengan mereka? Apakah mereka sedang sakit? Bukankah seiring bertambah tua usia seiring pula dengan pudarnya panca indera? Juga semakin lemah tubuh mereka? Mereka bisa jadi mulai memperhatikan pula kesehatan mereka sendiri. Perhatian mereka pun mulai terbagi, mereka manusia juga kan brother and sister? Mereka punya perasaan, juga ingin dimengerti. Jangan marah jika perhatian mereka akhir-akhir ini berkurang. Mungkin perhatian mereka mulai terbagi dengan perhatian mereka pada kesehatan mereka sendiri. Bukankah sudah waktunya, kita yang memperhatikan mereka?

Tunggu apa lagi? Jangan menunggu kabar telpon dari rumah bahwa ayah telah tiada. Jangan pula menunggu berita ibunda telah meninggal dunia. Lalu kita terlambat....terlambat..
Sungguh, mereka telah sukses melahirkan kita, membesarkan kita dan menyekolahkan kita, bahkan pendidikan kita sekarang lebih tinggi dari mereka. Artinya, mereka telah sukses wahai saudaraku.

Mulailah memberi perhatian pada orangtua kita. Janganlah kita seperti pemuda di negara sana, ketika mereka telah dewasa dan bekeluarga, mereka letakkan orangtua mereka pada yayasan lansia! Sungguh tak tau diri. Mereka meletakkan, menitipkan orangtua mereka di panti asuha lansia!.
Wahai saudaraku, brother and sister, jika kalian pernah mengucap cinta pada seseorang, maka pernahkan kalian mengucapkan itu pada orangtua kalian?

Siapakah yang lebih pantas dicinta? Bukankah orangtua kita mencintai kita dari dulu? Sedangkan orang yang kita temui, yang kita namai pasangan kita, baru kita temui ketika dewasa?
Siapakah yang lebih layak disayang? Pasangan kita yang kita layani, yang kita memberi makan pada mereka atau Ibunda dan ayahanda kita yang menyiapkan makan buat kita, membersihkan pakaian kita, menyelimuti kita, dan membela kita ketika kita ketakutan?
Siapakah yang lebih layak dirindu? Pasangan kita yang khawatirnya dimulai semenjak kita bertemu dengannya, sedangkan orangtua kita begitu khawatir akan keadaan kita dari dulu hingga tak berhingga?

Boleh kita mencintai pasangan kita, boleh kita menyayangi pasangan kita, juga boleh merinduinya.
Tapi, lebih sayanglah pada orangtua kita. Apalagi setelah menikah, bagi kita akan ada empat orangtua. Sayangilah mereka, keempatnya. Bukankah kita bertemu pasangan kita karena mereka yang merawat pasangan kita? Tidakkah kita berterimakasih? mereka, wahai saudaraku, mereka pecinta sejati kita!

Comments

Popular Posts