Ujian Buat Apa Sih!?



“ternyata ujian banyak manfaatnya bahkan tanpa disadari kita pun pernah melakukannya”
1. Tipe Diri
Ujian itu ibarat tekanan. Apa hasil dari tekanan? Hasilnya tergantung dari bahan yang ditekan. Mari kita analogikan sebuah pegas dan sebuah spon. Jika pegas ditekan (diuji) maka pegas akan melejit mengeluarkan potensinya. Tapi jika spon ditekan? Ia akan melempem bahkan lebih kecil dari ukuran semula. Nah, kamu tipe apa? pegas atau spons kah? Apakah ujian membuat kamu melejitkan potensi yaitu lebih mengenal kekuatanmu atau ujian malah membuat kamu melemah dan hilang arah?


Bahkan, beberapa motivator mengibaratkan ujian sebagai cara mengekstrak diri kita. Seperti kelapa yang diuji dengan dijatuhkan dari pohonnya. Dikupas kulitnya. Dipecahkan batoknya. Diparut dagingnya. Lalu diperas sarinya untuk mendapatkan santan kelapa.

2. Ujian adalah alat ukur
Misal saja kita bertemu dengan dua orang yang berteman. Orang pertama bilang bahwa temannya baru pulang dari inggris dan pandai mendesain sebuah baju. Kita bisa saja secara langsung terkagum walau belum mengeceknya. Tapi, agama kita mengajarkan tuk mengecek maka coba cek dengan menguji orang tersebut. Sodorkan selembar kertas, minta dia membuat sebuah disain baju koko keren dan gamis cantik. Jika kita pernah ke inggris, kita bisa juga mengujinya dengan bertanya tentang hal-hal yang ada disana.

Dalam dunia kerja, untuk mengetahui kualitas seorang pegawai, institusi pun menggunakan namanya ujian. Jika sesuai dengan standar mereka maka kita bisa terima. Tapi bisa jadi juga ternyata yang diseleksi semuanya memenuhi standar tetapi kuota nya terbatas maka mereka akan melihat calon pegawai yang hasil ujiannya terbaik.

3. Ujian adalah alat saring
Ujian memang kita perlukan, apalagi terkait dengan pertemanan. Tidak semua orang bisa kita jadikan teman. Kita perlu menyaringnya yaitu dengan uji. Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata “Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi sahabat memiliki lima sifat berikut : orang yang berakal, memiliki akhlak yang baik, bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah, dan bukan orang yang rakus dengan dunia” (Mukhtasar Minhajul Qashidin 2/36).

a)      Akal
Akal merupakan modal utama. Tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang bodoh. Karena orang yang bodoh, dia ingin menolongmu tapi justru dia malah mencelakakanmu. Yang dimaksud dengan orang yang berakal adalah orang yang memamahai segala sesuatu sesuai dengan hakekatnya, baik dirinya sendiri atau tatkala dia menjelaskan kepada orang lain.

b)     Akhlak yang mulia
Teman yang baik juga harus memiliki akhlak yang mulia. Karena betapa banyak orang yang berakal dikuasai oleh rasa marah dan tunduk pada hawa nafsunya, sehingga tidak ada kebaikan berteman dengannya.
“Permisalan teman duduk yang shalih dan buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi ia akan memberimu minyak wangi, atau kamu akan membeli darinya atau kamu akan mendapat bau harum darinya. Adapun tukang pandai besi, bisa jadi ia akan membuat pakaianmu terbakar, atau kamu akan mendapat bau yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhari No. 2101, Muslim No. 2628)

c)      Fasik
Orang yang fasik, dia tidak memiliki rasa takut kepada Allah. Orang yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, tidak dapat dipercaya dan engkau tidak aman dari tipu dayanya.

d)     Ahli Bid’ah
Berteman dengan ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu dengan kejelekan bid’ahnya

e)      Rakus
Ibarat pagar makan tanaman. Teman yang rakus memikirkan diri sendiri, demi keselamatannya saja. Inginnya untung sendiri. Teman seperti ini dikhawatirkan membuat diri kita menderita. Seperti kera, diberi satu pisang, dipegang dan dimakannya. Diberi satu lagi, digenggamnya dengan tangan satu lagi. Diberi lagi, digenggam dengan kaki yang satu. Diberi lagi, digenggam pula dengan kaki yang lain. Jika diberi satu lagi, padahal yang dimakan belum juga habis maka dia akan berusaha mengjaga pisang itu dari kera lainnya. Naudzubillah.

Untuk tau sifat-sifat seorang teman, perlu kamu uji. Misal untuk mengetahui dia rakus atau tidak maka cobalah beri makanan. Lalu perhatikan ia makan sendiri atau ia bagi. Untuk mengetahui ia fasik, coba bercanda ajak untuk melanggar aturan. Jika ia dengan mudah saja melanggar, ia orang fasik. Untuk mengetahui akhlak yang mulia, lihat interaksinya dengan orang tuanya dan saudaranya. Perlu menjadi catatan, interaksi seperti jual beli, pinjam meminjam bisa menjadi cerminan sikap seseorang. Apakah seseorang mudah mengembalikan pinjamannya adalah salah satu ciri akhlaq mulia. Ingat, itu baru salah satu ciri. Kadang kita lolos di ujian satu tetapi tidak lolos diujian lain.

Ujian kesusahan dan kesenangan
Kadang ada orang yang tahan dengan ujian kemiskinan tetapi lupa dan lalai ketika diuji kekayaan atau kesenangan. Seperti kisah ada tiga jenis angin berlomba ingin merobohkan seekor monyet yang bergantung di pohon. Angin puting beliun mencoba dengan kencang, tetapi monyet walau dengan susah tetap kuat dengan pegangannya. Angin topan pun mencoba. Ditiup si monyet dengan sekuat tenaga, ternyata tetap saja gagal. Terakhir, angin semilir, sepoi-sepoi mulai menggoda si monyet. Si monyet terlihat mengantuk, menguap dan tanpa perlawanan terjatuh.

Kadang kita banyak jatuh ketika diberi kesenangan. Bahkan banyak yang lupa pada orang tua ketika diuji dengan kekayaan atau pun kesuksesan terlebih lagi lupa akan kewajiban-kewajiban syariat agama seperti sholat, zakat, menjalin silaturahim dsb.

Menguji diri sendiri
Salah satu sifat yang berbahaya ialah ri-a’ (ingin dilihat orang agar dipuji) dan tsum-‘a (ingin didengar orang agar disanjung). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tidak akan masuk surga orang yang melakukan syirik kecil yaitu riya’ dan tsum-‘a. Sifat ini membuat diri bangga pada diri sendiri sedangkan cantiknya kita, tampannya kita, kayanya kita siapa yang membentuk dan memberi? Tentu bukan kita yang membuat diri kita cantik, tampan, kaya, lalu mengapa diri kita bangga? Bukankah harusnya pujian hanya bagi Allah. 

Kalimat Alhamdulillah yang berarti segala puji bagi Allah, maka tidak layak kita merasa senang tanpa memuji-Nya. Lalu apa hubungannya dengan ujian?
Karena bahaya nya sifat ini maka ada beberapa uji yang dapat digunakan untuk mengetahui kita terjangkit penyakit ini atau tidak. Cara ini disampaikan oleh Ustadz Buya Yahya dari Cirebon.
1.       Ujian kesendirian
Jika saat sholat berjama’ah kita ditunjuk jadi imam kemudian rakaatnya dilakukan dengan sempurna, bacaan indah dan merdu, suratnya panjang, lalu diakhiri dengan do’a yang panjang dan lama maka….lihatlah ketika sholat sendiri. Jika saat sholat sendiri rakaatnya begitu cepat, bacaan biasa saja, pilihan suratnya pendek-pendek maka hati-hati kemungkinan besar kita terjangkit ri-a’ dan tsum-a’
2.      Ujian pengulangan
Jika kita baru sekali sedekah 100 ribu maka ada kemungkinan besar kita terjangkit penyakit ini tetapi jika rutin melakukannya maka kemungkinan besar kita sehat dari penyakit tersebut.

Ujian dengan perjalanan dan pinjam meminjam
Umar bin Khattab r.a pernah menjadi hakim atas suatu kasus lalu didatangkan saksi-saksi. Lalu Umar r.a menanyai saksi tersebut apakah ia benar mengenal tersangka. Saksi menjawab “iya saya mengenalnya”.

Kemudian Umar r.a bertanya lagi “pernahkah kamu melakukan perjalanan jauh dengannya?” saksi tersebut menjawab “tidak pernah”. Saksi ditanya lagi “pernahkah kamu melakukan pinjam-meminjam dengannya?” Saksi menjawab “tidak pernah”.  Maka Umar r.a berkata “kamu belum mengenalnya”. Kesaksian nya pun ditolak.

Ternyata sikap asli seseorang itu bisa kelihatan jika dalam perjalanan atau dalam pinjam meminjam. Dalam perjalanan, rasa haus, panas, kadang ada masalah dengan transportasi, saat bermalam, itu bisa menunjukkan sifat asli seseorang entah dia si pengeluh yang suka mengeluh-ngeluh atau dia malah si pembantu yang suka membantu atau dia si sabar yang tetap tenang melakukan perjalanan dengan tekun dan menikmati tiap kejadian. Dengan pinjam meminjam, kita mengetahui apakah seseorang itu teliti atau tidak terkait dengan kepemilikan orang lain. Apakah ia dengan mudah melupakan bahwa barang yang dipinjam milik orang lain sehingga lama atau bahkan lupa mengembalikan. Jika lama atau lupa maka khawatir orang jenis ini ialah orang yang tidak mengetahui hak orang lain. Orang lain bisa jadi menunggu-nunggu barang miliknya. Butuh dengan barangnya tetapi si peminjam lupa, tidak peka, bahwa itu barang bukan miliknya. 

Bahkan, hidup ini adalah ujian dari Allah SWT  untuk mengetahui siapa yang benar-benar beriman. Cara ujinya ialah dengan perintah dan laranganNya. Jika lulus menjalankan perintah dan menjauhi larangan maka kita mendapat nilai tinggi di sisi-Nya dengan gelar ‘Muttaqqin” orang yang bertaqwa.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan : ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi” (QS 29: 2)
Ibaratnya, apakah kita membiarkan seseorang berkata “aku cinta padamu” sedangkan kita tidak menguji kebenaran cintanya?

Allah SWT menguji manusia misal dengan perintah dirikan sholat, tunaikan zakat, sambung silaturahim, atau melalui lisan nabiNya seperti hadist “orang beriman itu bagaikan lebah, baik yang dimakan, baik yang dikeluarkan, jika hinggap pada suatu dahan dia tidak merusaknya, ia tidak mengganggu kecuali diganggu”.
Coba cek diri kita, sudahka memenuhi cirri tersebut?
Sebagai penutup, ternyata dengan ujian itu kita bisa melihat tipe diri kita, jadi alat ukur, dan alat saring. Jadi kesimpulannya, kita butuh ujian kan?


DAAD | 29 Juli 2016

Comments

Popular Posts