Absensi Kematian
”ahmad
stevano..” suara seorang wanita keibuan memanggil.
Seorang siswa mengacungkan tangan. Resiko kalau punya
nama dari huruf A. Pasti diabsen awal-awal sehingga harus selalu siap telinga.
Kalau lambat saja sedikit, sudah dicecar sama
teman-teman lain karena panggilan harus melewati mereka satu per satu supaya dikatakan
hadir di kelas. Ada enak dan ga enaknya jadi absen nomor atu. Enaknya kalau bagi rapot, cepat ambil rapot dan cepat pulang.
Kalau bagian makan, bisa dapat duluan dan memilih banyak pilihan. Ngga enaknya,
kalau bagian ujian lisan atau praktek, dipanggil duluan. Padahal belum banyak
persiapan. Terus kalau telat, mudah sekali ketauan. Huh!
”Andri
ahmad..” lanjut panggilan absen itu bergerak satu persatu menuruni nomor urut
absen.
”hadir bu..”
jawab yang empunya nama yang menempati absen urut kedua.
Panggilan itu melewati nama ku, Alfiano diurutan ke 4,
terus melewati nama Azis, Doni, Egi, Farhan. Ada juga nama yang terlewati
karena tidak hadir. Grace, Latief dan Resti.
”martha..”
”hadir bu..”
jawab siswi absen 24.
Hingga yang
paling akhir nomor 42.
”wibie anne..”
”hadir
bu..” jawab siswi yng berdarah dan
berkulit indonesia ketimuran itu. Jawabannya sering kali diiringi gelak tawa.
Ia sering jadi bahan tawaan teman-teman. Entah, aku sih tidak mengerti apa yang
ditertawakan. Apa karena rambutnya yang tidak pernah berhasil untuk direbonding?
***
”inna lillahi wa
inna ilahi rojiun..
Tlh berpulang k
rahmatullah sahabat Qt, Martha (1-4, 2-7, 3Ipa6) dini hari jm 03.00 d RS Kry
Bakti.
Smg almarhum
diampuni dosany, dlapangkn&diterangi kuburny, &dimasukn dlm rahmatNYa”
Tmn2 yg mw melayat,
kumpul dSMANTI jm 09.30.
From: Andri A 3ipa6
03/07/2008
08:25
Innalillah..sms dari Andri itu membuat aku kaget.
Bahkan sangat kaget! Beberapa hari sebelumnya almarhum
sms aku. Dia terus terang cerita tentang keluarganya. Tetang biaya SMP adiknya,
tentang ibunya yang sedang sakit. Apalagi dia anak sulung yang menjadi tulang
punggung keluarga. Ayah almarhum sudah mendahului almarhum setahun yang lalu.
Apa itu tanda-tanda?
Setelah melayat, yang aku tahu kata teman-teman dia kuliah
disebuah universitas swasta jurusan akutansi, beruntung katanya, dia diangkat
jadi asisten responsi-sejenis praktikum-sehingga bisa menutupi biaya kuliahnya.
Dia juga berjualan kripik di kampusnya untuk membiaya adik dan ibunya.
Berat, sungguh berat musibah yang menimpa keluarganya.
Sambil membaca sms itu lagi, sudah lama juga aku tidak
menatap wajah teman-temanku. Ku buka buku tahunan. Ku buka pula daftar absen
kenangan. terlihat wajah dan nomor urut absen almarhum, nomor 24. Mataku juga
tak lepas pada wajah Azis, Grace, Egi juga Resti yang sudah mendahului
almarhum.
Aku kira absen itu sudah tidak akan bergerak lagi, sudah
berhenti setelah kami semua Alumni dari SMANTI. Masa-masa SMA, tidak banyak
yang ku ingat selain panggilan satu per satu menuruni daftar absen. Daftar
absen yang ada padaku sudah mulai lusuh bersama tumpukan-tumpukan catatan
pelajaranku. Di absen itu tersimpan nama lengkap, tanggal lahir, hingga nomor
handphone teman-teman. Itu pun kalau tidak berubah.
Setelah dua tahun kami mencicipi Alumni. Panggilan absen
itu bergerak lagi. Panggilan tidak
dimulai berdasarkan abjad lagi, tapi dimulai dari bernomor 36 dan kini almarhum
Martha dengan nomor ke 24.
Entah..nomor berapa lagi? Nomor berapa selanjutnya?
Kalau ku perhatikan, nomor urut absen almarhuma semuanya
genap! Apakah kematian mengikuti absen kelas ku bernomor genap?
Aku yang sekarang seorang mahasiswa matematika hanya bisa
menerka. Aritmatik, Geometri, dan semua kaidah matematika yang kupelajari belum
bisa menemukan pola urutan panggilan itu. Apakah dari urutan 12 polanya menaik
dengan deret aritmatik ke 18 terus ke 36? Tapi, ah tidak. Azis bernomor 6 dia
meninggal setelah Egi. Atau polanya acak tapi bernilai genap 12, 6, 18, 24?
hingga nomor ku, nomor 4? Merinding sekujur tubuhku.
Pertanyaan pun kian menjadi jadi. Entah, mengapa
pikiranku seperti bergerak sendiri? Ia bertanya kapan tahunnya? Jika almarhum
Egi, Grace, Azis dan Resti meninggal setahun setelah masa kelulusan dan
almarhum Martha dua tahun setelahnya. Lalu kapan lagi? Apakah tahun ini? Tahun
ketiga? Berapa panggilan tiap tahun? Atau bisa setengah kelasku dalam setahun?
Nomor berapa? Kapan?
Tapi, untuk apa aku menerka dan bertanya? suara batinku.
Bukankah mati hal yang ghaib, yang tidak tahu kapan
datangnya? Dan menghinggapi setiap manusia?sedangkan manusia saat ini 6 milyar
banyaknya.
Tapi..cukup 42 nomor absen di kelasku. Cukup itu yang
kupikirkan. Nomor yang kini tinggal 37..
Absen itu. Bukan Guru lagi yang memanggil. Ia bergerak.
Acak.
Bagaimana jika absen maut itu menghampiriku..
Oh tidak, apa yang harus ku lakukan? Seharian ini
pikiranku tidak tenang. Tak ada gairah pula. Pikiran ini belum juga bisa diam.
Ia terus menerawang nomor berapa selanjutnya? Nomor siapa yang dipanggil
kemudian?
Terus mengiang-ngiang hingga malam. Arrgh! Hampir pecah kepala ini. Hingga sudah tak tertahan..entah
bagaimana aku bisa tidur.
***
Hpku bergetar. Ada sms. Ku harap bukan sms seperti
kemarin.
”kullu nafsin dza
iqotul maut..
..Aladzhi kholaqol
mauta wal hayata liyabluwakum ayyukum ahsanu amala..
Setiap berjiwa
pasti merasakan mati..
..yang menciptakan
mati dan hidup untuk menguji kamu siapa yang paling baik amalnya”
Bekerjalah kamu
seakan-akan engkau hidup selamanya
Dan beribadahlah
kamu seakan-akan kamu akan mati besok”
From: Farhan 3ipa6
04/07/2008
06:46
Syukur. Alhamdulillah. Sms Farhan buat aku sedikit
tenang. Dia memang sering memberi tausyiah melalui sms.
Aku pasti merasakan mati juga. Pasti!. Dipikirkan tidak
dipikirkan ia akan datang juga. Tinggal, bagaimana amalku? Apakah amalku paling
baik diantara 6 milyar orang? Ah tidak mungkin. Kalau sekelas? Dari 42 siswa?
Bisa jadi.
Tapi aku ngga yakin. Setahuku, teman-temanku lebih rajin
belajar dan ibadahnya daripada aku. Bahkan, mereka yang telah mendahuluiku.
Azis, ia hafal Al-Qur’an. Ia sering mengajari anak-anak sekitar rumahnya untuk
mengaji.
Egi, dia anak kesayangan orang tuanya. Bahkan saat
melayatnya, orangtua dan saudara-saudaranya bilang, Egi itu paling santun,
rajin sholat dan sering berbagi makanannya. Dia itu periang dan tak pernah
berkata kasar dengan orangtua.
Grace, dia mu’alaf. Dia lebih rajin daripada aku dalam
mengaji. Padahal aku islam sejak lahir. Grace juga jadi sopan, suka senyum,
dan mengajinya lebih bagus daripada aku.
Resti, sejauh aku mengenalnya. Ia pendiam. Tapi itu
kelebihannya, sejauh pengamatanku, ia tidak pernah berkata kecuali yang baik
dan aku ngga pernah mendengar dia mencerca atau mengeluarkan kata-kata negatif
seperti ”Bego Lo”, ”sok tahu Lo”.
Berbeda sekali dengan aku, ucapan negatif itu kerap
menghiasi mulutku, sholat ya kadang-kadang, kalau disuruh Bonyok-bokap nyokap,
sering menghindar dan cari alasan. Kadang, kalau Bonyok bikin kesel, aku yang
marah.
Martha, sudah tidak usah
aku bahas lagi. Dia anak yang berbakti sama ortu. Juga sering membantu
teman-teman walau bukan bantu uang. Justru aku yang malu. Dia bisa jadi tulang
punggung keluarga, ya minimal tidak membebani orangtua. Aku? Kalau aku mati,
mungkin orangtua ku jadi lega..aku sering memberatkan mereka. Tapi, sms Farhan
tadi dan ingatanku terhadap perbuatan para almarhum membuat aku ingin berubah..
Sebelum absen itu memanggil namaku..
Comments
Post a Comment