BELAJAR DARI MURID IMAM MALIK



Seorang perantau, nun jauh dari Andalusia ia berasal. Ia pergi menuntut ilmu ke Madinah. Berguru pada Imam Malik. Andalusia-Madinah adalah jarak yang amat jauh. Terlebih dengan sarana kendaraan yang apa adanya di masa itu. Ia berangkat menuntut ilmu dengan modal kehendak. Ia serius ingin berguru pada Imam Malik yang tersohor keluasan ilmunya.

Hari-hari menimba ilmu pun ia lalui di Madinah yang tenang di hadapan sang guru, Imam Malik. Hingga suatu hari, saat berada di majlis bersama murid-murid yang lain, tiba-tiba ada rombongan kafilah entah dari mana. Mereka datang sambil membawa gajah. Para murid Imam Malik berhamburan keluar ingin melihat gajah.
Di jazirah Arab saat itu, makhluk besar berbelalai itu memang tergolong asing. Maka orang-orang pun keluar ingin melihat lebih dekat. Begitu pun murid-murid Imam Malik. Semua beranjak, kecuali si perantau itu. Hingga semua keluar ia tetap duduk di majlis. Melihat hal itu Imam Malik mendekat. “Mengapa engkau tidak keluar juga untuk melihat gajah?” tanya Imam Malik.Ia menjawab, “Aku jauh-jauh datang dari Andalusia untuk menuntut ilmu, bukan untuk melihat gajah.” 

Imam Malik sangat kagum dengan keteguhan si perantau. Setelah itu Imam Malik pun menggelarinya dengan ‘aqilu Andalus (lelaki berakal dari Andalusia).
Lelaki berakal, si Perantau itu bernama Yahya bin Yahya.


Pelajaran apa yang kita dapat dari kisah si perantau ini?
1.    Fokus
Ia telah meletakkan prinsip dasar di atas jalan hidupnya. Ia mengerti sedang di jalan mana ia berlalu dan ke arah mana ia menuju. Ia seperti tengah menegaskan, betapa ia tidak boleh berhenti, hanya karena sesuatu yang sederhana, ia harus terus berada di jalur kehendak dan cita-citanya. Sekiranya ia sejenak keluar, melihat gajah bersama teman-temannya, itu pun tak jadi persoalan yang besar. Malah Imam Malik sejenak tidak melanjutkan pelajarannya, sebab semua muridnya keluar. Tetapi falsafah luhur di balik sikapnya itu, mencerminkan sebuah kecerdasan, tentang bagaimana seorang muslim memahami godaan-godaan konsistensi, yang kadang menghentikan dan menghempaskan keyakinannya. Betapa ia tidak boleh terhenti oleh godaan-godaan itu.
Maka lelaki itu benar-benar layak disebut ‘aqilu Andalus.

2.    Perbarui Niat
Betapa sering perjalanan hidup kita terhenti, bahkan hanya oleh hal-hal yang tidak terlalu serius. Betapa banyak orang berhenti dari mengejar cita-cita, kehendak mulia, mimpi-mimpi agung dalam capaian prestasi, hanya lantaran kealpaan, hanya karena ulah menyimpang yang mulanya hanya main-main belaka, atau karena mental ‘nanti dulu’, atau sikap ’sebentar lagi saja’. Akhirnya lama kelamaan jiwanya mulai layu, semangatnya mulai redup.
Jika mengalami masa-masa seperti ini maka tanyakan kembali pada hati, apa tujuan awal sebenarnya? Apa yang benar-benar sedang dicari?

3. Temukan manfaat diri
Dalam kehidupan para salafussalih, keberartian tidak diperoleh dalam waktu yang singkat, tidak pula dengan usaha yang setengah-setengah. Orang-orang besar di dalam tarikh umat Islam yang gemilang, menjadi besar karena mereka tidak pernah lelah menabung untuk pelabuhan keberartiannya, hari demi hari, waktu demi waktu, detik demi detik. Imam Bukhari setiap malam mampu terbangun hingga dua puluh kali, untuk menuliskan hadits-hadits yang dihafalnya. Ia tidak pernah berhenti untuk menjadi terus berarti. Maka kini ia memetik jerih payah itu. Ia menjadi maha guru ahli hadits sepanjang masa.
 
Begitupun orang-orang lain seperti Imam Nawawi. Bila seluruh usianya dibagi dengan karya tulisnya, maka setiap hari ia akan menulis tidak kurang dari enam belas halaman manuskrip. Bila diurai menjadi buku-buku masa kini setiap halaman manuskrip itu menjadi berlembar-lembar halaman. 


DAAD|29 Juli 2016

Comments

Popular Posts