KAGUM



“mau kemana ustadz?” sapa seseorang yang sedang duduk di warteg si Mbo.
“eh andre, ana mau ke kampus neh” balasku,
“ente, ngga ada ujian?” lanjutku,
“nanti jam satu stadz..”jawabnya,
“sip..sukses ya akh..” balasku sambil memacu langkah.
Ustadz? Aku dipanggil ustadz? Sudah acap kali aku panggil ustadz. Aku sendiri heran. Sering aku geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa aku dipanggil ustadz? Apa karena aku sering sapa dengan kata “ana-ente”? kalau gitu semua orang arab ustadz dong?
Apa karena aku memiliki jenggot? Kambing lebih panjang jenggotnya. Lebih lebat lagi!
Sebenarnya ustadz itu apa sih?

Setelah ku tinjau kamus arab-indonesia, juga tanya mbah google, serta mengamati penggunaannya dimasyarakat, ustadz ternyata berarti GURU! atau Sin Shei kalau di jepang, Suhu kalau di china.
Wah..kalau aku cari lagi di kamus bahasa indonesia. Setelah kata guru, tidak jauh dibawahnya ada kata guruh! Nah, mungkin itu yang cocok buat aku. Guruh alias gemuruh suara petir. Karena kadang aku kalau tertawa bisa cekakakkan mengalahkan speaker tetanggaku.
Ingin rasanya menyanyi, panggilan ini membunuhku (cinta ini membunuhku, d’massiv).
Bukan tidak senang dipanggil ustadz, karena panggilan adalah do’a, jadi mereka mendo’akan aku agar jadi ustadz. Aku sih amin-kan benar kata-kata mereka. Karena katanya kalau jadi ustadz, bisa istri empat!
Nah, panggilan itu jadi masalah untuk saat ini, karena sering dipanggil ustadz, tidak ada akhwat yang mau dekat aku. Padahal aku sudah cukup syarat untuk menjenjang ke level berikutnya dalam kehidupan, yaitu membina rumah tangga (dengan segala isinya, bukan tangga doang ya) yang sakinah, mawaddah, warahmah, wa-mobilnya, wa-kebunnya, wa-nitanya, wa-anaknya wa..wa..wa..
Sempat teman sesama dosen bilang.
            “wah afwan ustadz, ana ngga mau dekat-dekat ente, takut di poligami” canda mba Indah, dosen ekonomi.
            “mmm...” gumamku pura-pura mikir.
“justru baiknya mba cepat-cepat menikah dengan aku, biar jadi istri pertama. Sebelum stok barang dagangan habis. Laki-laki langka lho jaman sekarang. Ilmu ekonomi bilang, kalau barang semakin langka, semakin mahal harganya, semakin susah dicari”
Kena telak dia dengan ilmunya sendiri, ilmu ekonominya.
“dari pada mba keduluan ama yang lain? Lagi pula, kalau mba nikah duluan ama aku, nanti mba punya kesempatan menentukan kriteria isteri keduaku, ketigaku dan ke..” belum selesai aku mengeluarkan argumen balasanku, dia langsung tutup kuping.
“ngga denger..aku ngga denger” balasnya, dengan nada gaya anak kecil.
Panggilan ustadz, juga sulitnya mencari akhwat yang mau di poligami (lho? Udah niat Ustadz?) membuat aku bingung. Tapi daripada bingung memikirkan akhwat, aku lebih bingung lagi terhadap panggilan. Panggilan itu seperti menohokku. Aku tau kejelekanku lebih dari mereka. Mereka panggil aku ustadz, tapi aku sendiri mengaku, sadar, bahwa sering bermaksiat!

Tiap kali panggilan itu jatuh padaku, hatiku menangis. Kadang, lebih parah lagi. Ada rasa bangga di hati. Kadangkala, saat sholat berjama’ah, ada petikan rasa bahwa yang mengimami bacaanya lebih rendah dari ku. Astaghfirullah! Bukankah itu rasa bangga? alias tinggi hati bin sombong? itu hanya milik-Nya? Bukankah itu yang mengeluarkan iblis dari surga?

Ustadz? Kata itu masih terngiang ditelingaku. Bagaimana bisa dipanggil ustadz? hafalanku saja cuma sedikit, belum ada satu juz pun. Tapi aku memang sering memberi motivasi, mutiara hikmah atau kata-kata semangat. Juga mengajar TPA di mesjid kampus setiap kali pulang dari kampus. Sebenarnya tidak istimewa, aku cuma mengajar iqro saja! Paling aku juga senang bercerita, terutama kisah-kisah sahabat. Mungkin karena keseringan ku cerita tentang kehidupan para sahabat yang membuat aku disebut ustadz? Mungkin mereka menganggapku sedang bertausiyah?! Padahal cerita itu aku dapatkan dari temanku. Ya memang temanku itu jebolan pesantren, jadi ceritanya valid alias sahih!
Aku kadang geli sendiri. Katanya kalau ustadz bisa istri empat, tapi akhwat saja tidak ada yang mau dekat! Ck..ck..ck..
***
Baru kali ini aku kagum. Bukan kagum biasa karena aku kagum pada sejenisku, seorang laki-laki. Aku bertemu dengannya di mushola di kampus. Karena kecilnya mushola, kami harus antri. Antrian yang panjang itu membawa berkah. Ya, berkah sehingga aku bertemu dia.
Mungkinkah ini jawaban dari semua kegalauanku selama ini? Panggilan ustadz dan sulitnya mencari akhwat?
Dari jauh, aku sudah liat tampangnya yang bagai arjuna. Cuma memang rambutnya agak kurang rapih. Yah..wajarlah menurutku, sesore ini tampang, eh lebih tepatnya rambut, mulai kusut karena sudah diterpa hujan, angin, debu de el el. Tapi bukan penghalang untuk ketampanannya.
Lebih menarik lagi, dibalik kaos yang belel di bagian lehernya itu dan skinny jeans yang dikenakannya, terdapat tubuh yang athletis. Kulitnya juga putih. Kriteria-kriteria umum untuk diterima wanita sudah lolos deh pokoknya. Tinggal dia bisa tidak menyelesaikan syarat administratif dan khusus-jika ada-dari wanita, walinya dan tentu saja K.U.A!

Setelah lama mengantri, akhirnya jama’ah pertama selesai menunaikan sholat maghrib. Saatnya kloter dua masuk. Aku masuk terlebih dahulu mengisi shaf pertama, dia juga disebelah ku. Aku dan dia bagai pinang dibelah kampak! Atau black and white. Sebenanrya kulitku ngga terlalu hitam si, cuma kuning langsat atau lampu mushola kurang terang menyinari kulitku. Tinggiku, oh..aku cuma kurang tegap saja! Tampangku, kalau dia 9 aku 7 deh. Aku ngalah saja (Huh jujur aja sih, kalau memang situ black and he is white!)
Mulanya seperti biasa, aku ingin melangkahkan kaki ke sajadah imam. Tapi keinginanku tertahan, aku ingin orang lain saja. Dan ternyata dia maju ke sajadah itu. Sempat terbesit, bacaannya pasti terbata-bata.
Tapi, diluar dugaanku. Dan itu yang membuat kau kagum. Bacaannya luar biasa indah!

Kalau aku perhatikan dari makhroj hurufnya, hukum tajwidnya, juga panjang pendeknya, masya Allah aku acungi jempol buat dirinya! Ternyata dibalik celana skinny jeans itu, dibalik sosok dengan kaos belel di bagian leher itu, ada sosok ustadz sebenarnya! Oh..ini jawaban dari kegalauanku. Ternyata, diatas langit ada langit, disaat aku merasa bangga dengan bacaanku, dengan panggilan ustadzku, aku menemukan seseorang yang penampilannya bukan ustadz, tapi bacaan dan kemampuannya ustadz!

Setelah aku cirikan di lelaki itu. Aku amati dia. Dia mahasiswa ekonomi. Namanya Raihan, angkatan baru dan memang jebolan pesantren. Wah..hampir-hampir perhatianku dan tujuanku untuk mencari akhwat sebagai istri teralihkan hanya untuk mengamati sosok pria itu.
Bahkan aku sempat terpikir, kalau lelaki itu dilestarikan, diperbanyak, diperbaiki cara berpakaiannya dan andai saja ia juga mengajar TPA atau ikut aktif di lembaga dakwah kampus (LDK). Betapa banyak wanita yang bisa ikut pengajian dan aktif di LDK walau niat awalnya adalah ingin melihat wajah dia yang tampan dan sosok tubuh dia yang atletis. 

Kini, aku sedang mulai PKDT (pendekatan) dengan Raihan. Mudah-mudahan dia bisa aktif di LDK dan turut mengajar TPA. Dekat dengan dia membuat aku ingat akan kekuranganku. Dia seperti yang dikatakan sebuah hadits, orang yang terbaik dari umatku ialah ketika dilihat (maka) ia mengingatkan kita pada Allah!

-selesai-

cerpen | DAAD

Comments

Popular Posts