Alda adikku..
Samson, nama motorku, sudah lama tidak mandi. Lima bulan sudah. Ban depan
nyaris ketutup kerak lumpur. Jari-jarinya sudah berwarna coklat. Bagian mesin
bawah, knalpot, dan ban belakang sudah tertutup lumpur kering. Samson sangat
berjasa. Dia menjadi jalan buat aku mendapat uang dengan cara mengajar. Dari
gaji mengajar, aku membiayai kuliah adikku. Ya walau hanya SPPnya saja.
Alda nama adikku. Ia jurusan ekonomi manajemen. Syukurlah mudah-mudahan bisa
mengangkat ekonomi keluarga yang morat-marit setelah Umi dan Abi almarhum. Kini
tinggal aku dan alda. Aku sayang adikku. Apalagi aku benar-benar diamanahi oleh
almarhum Umi dan Abi yang sempat memberi tanda sebelum kecelakan naas menjadi
penyebab kematiannya.
”hati-hati di rumah, mad jaga adikmu baik-baik, jangan sampai diganggu sama
orang” ucap Umi.
”Ingat Mad, adikmu adalah keluarga terdekatmu, saudara-saudara kita yang
lain pada jauh semua” Abi menambahkan.
***
”ka..ka..” panggil Alda. Aku saat itu tidak langsung sadar karena sedang
menggosok kaki depan si Samson.
”kaka..ka..’ panggil Alda lagi kali ini lebih kencang dan lebih dekat.
”ada apa de?” ucapku sambil bangkit ke arah Alda yang berdiri dekat pagar.
”ada apa?’ lanjutku.
”itu ka, cowok-cowok yang disana ganggu Alda. Mereka siul-siul dan colek
Alda ka” keluh Alda.
Merah muka ku, naik darahku mendengar itu. Tanpa pikir panjang aku datangi
tempat yang ditunjukkan Alda. Disana sudah ada 3 orang pemuda lebih muda dari
aku. Setelah Alda menunjukkan laki-laki yang mencoleknya. Langsung ku beri bogem di mukanya. Kedua temannya coba
melawanku.
”Lo mau ngebelain teman Lo yang salah? Oke
gue layanin” kataku.
Dua lawan satu. Aku berlari sedikit bergerak memutar supaya mereka agak
terpisah jadi aku bisa membereskan satu dulu baru ke yang lain. Teknik karate
yang pernah diajari oleh pamanku sangat ampu melawan dua bocah itu. Bocah
pertama sudah aku banting duluan sekuat tenaga. Bocah kedua yang menyusul kena mei
geri, tendangan lurus tepat di ulu hati. Dia mengadu-adu kesakitan.
”ampun Mad, maafin kita Mad, kita ngga lagi deh ganggu ade Lo” ucap si Rifal, pemuda yang pertama
ku pukul hingga mimisan. Kedua temannya juga ikut.
”ya uda, jangan ulangi lagi. Kalo
ngga mau diganggu ma orang makanya jangan ganggu orang. Lo sendiri mau apa kalo ade Lo diganggu ma orang lain?” ku harap mereka berpikir akan pertanyaan ku
terakhir dan mulai tidak mengganggu orang. Setelah itu aku langsung pulang.
***
Ini bukan hal
pertama yang aku lakukan. Dulu Alda saat semester 1 di tempat kuliahnya. Dia
juga diganggu ma kaka kelasnya. Saat
itu aku datangi laki-laki yang bernama Edo.
”Mahasiswa kok ngga menunjukkan perilaku terpelajar..” celetukku.
Edo waktu itu
meremehkan dengan mengatakan ”dasar tukang ojeg!” karena ia sering juga melihat
aku mengantar jemput Alda. Saat itu Edo pun aku pukuli.
Tapi segera
teman-temannya memisahkan. Untung teman-temannya tidak mengeroyok. Bisa jadi
pertarungan 5 lawan 1 dan aku tidak tahu cara melawan sebanyak itu.
Akhirnya aku
pun dipanggil oleh pihak departemen bersama Edo. Aku dan dia disidang. Dosennya
marah-marah, aku marahin lagi.
”Ini hasil didikan Bapak? Mahasiswa seperti ini?” sambil menunjuk ke muka
Edo.
”apa Bapak tidak pernah mengajar kan sopan santun pada mahasiswa? pantas
negeri ini bobrok” sebenarnya aku takut juga marah, takut Alda dikeluarkan.
Tapi aku yakin
tidak karena aku bisa saja melaporkan ke media, seperti yang orang-orang
lakukan. Akhirnya mahasiswa itu dikenai teguran keras tapi tidak sampai
dikeluarkan.
***
Alda, adikku
memang cantik. Rambutnya panjang bergulung sedikit. Hidungnya lebih mancung
dari hidungku. Dia juga tinggi. Tidak dandan saja begitu cantiknya apalagi
kalau berdandan. Lalu aku berpikir, apa karena dia cantik dia diganggu? kalau
begitu, kenapa Septi, teman sekolah ku dulu, yang sekarang sudah hampir lulus tidak
pernah diganggu?
Bahkan kalau
menurutku Septi lebih cantik. Parasnya lonjong seperti orang arab, tinggi, dan, bingung
aku berkata apalagi. Ia begitu cantik. Kalau saja dia menjadi istriku, masya
Allah luar biasa. Aku akan punya dua bidadari di rumahku. Satu istriku dan satu
adikku.
Setahuku dari
kelas 1 SMA hingga kami lulus bersama tidak pernah aku melihat ada yang
mengganggunya.
Bahkan walau
jarang bertemu, aku tidak pernah mendengar ia disiuli apalagi dicolek
oleh pemuda lain. Lalu kenapa? Apa aku tanyakan saja pada Septi? sekalian aku
bersilaturahim sudah lama tidak bertemu.
Kebetulan aku
kan mengajar adikknya. Dan kemarin kata adikknya Septi akan pulang minggu ini.
Dia ngekost di sekitar kampusnya
karena harus menempuh 5 jam kalau pulang pergi. Aku nego adik Septi, Gusti namanya, kelas 2 SMP.
”hari jum’at ini kaka ngga bisa
ngajar, pindah ke hari minggu aja ya?” bujukku.
”wah hari minggu nanti ka Septi datang, masa aku belajar. Aku kan kangen ma ka Septi” kata Gusti.
”aku juga” kataku dalam hati. Bingung aku mau membujuk apa lagi.
”emm.. tapi ga papa deh ka, sore
ya ka..” seloroh Gusti buat aku senang.
”yes!” dalam hatiku.
***
Minggu siang
menjelang sore. Di depan rumah Septi sudah terparkir sebuah motor. Motor
ayahnya Septi. Berarti Septi sudah datang. Segera ku parkir si Samson di
samping motor ayahnya. Aku jadi malu, terlihat sekali perbedaan antara motor
terawat dengan tidak terawat. Selain itu, kok aku jadi ngga PD ya? aku kan sudah lama ngga
ketemu Septi, masa pas ketemu
langsung minta saran. Lagi pula belum tentu Septi mau bertemu aku. Siapa tau
dia kecape-an, atau ngga mau diganggu dengan keluarganya.
Suara motorku
yang mulai terhenti mengundang perhatian orang dalam. Keluar paras seorang
wanita cantik, berkerudung merah. Luar biasa, Septi!
”a..a..assalamu’alaikum..” ucapku pelan sambil senyum selebar mungkin.
”wa’alaikumsalam, Ahmad?..gimana kabarnya?” tanyanya.
Untung dia
masih ingat aku, Dia memang mahasiswi terpelajar. Teman lamanya saja masih ingat dan masih
diakui. Tak salah aku cint..Ups!
”alhamdulillah baik, Septi gimana kabarnya? Kapan di wisuda?”
”alhamdulillah Septi sehat wal ’afiat, insya Allah Mei ini Septi wisuda,
ayo masuk Ahmad, kebetulan aku bawa makanan khas Bandung, Ubi Cilembu”
Aku langsung
diajak ngobrol bersama dengan keluarganya. Alhamdulillah keluarganya hangat
sekali, karena ayah dan ibunya sudah kenal aku dan orang tuaku, orang tuanya
juga menganggap aku anaknya.
Tapi tetap aku harus jaga sikap. Selama satu jam setengah kita mendengar
cerita seru saat Septi seminar, sidang dan mengurus SKL yang cukup ribet
katanya. Tapi alhamdulillah kini dia sudah lulus dan segera wisuda. Tinggal
melamar. Atau dilamar.
Sepertinya hari ini belum pas
untuk bertanya perihal adikku. Tapi nanti malam Septi sudah kembali lagi ke
kampus, ada tugas buat Paper katanya. Padahal ayah dan ibunya minta ia tinggal
sampai besok. Begitu juga aku.
”Ahmad kabar Alda gimana?” tanya Septi membuyarkan kebingunganku.
Dan aku kagum
padanya dia tidak pernah memanggil namaku sepotong-sepotong, seperti temanku,
ada yang panggil aku ”ach” pake C, padahal namaku Ahmad.
Ada yang
panggil ”mad..mad..” pake huruf D bahkan ada yang manggil dengan ”mat..mat”,
pake T, memangnya aku tomat? Aku Ahmad. A..h..m..a...d.
”Alda alhamdulillah sehat, sekarang dia sudah semester 3” jawabku.
”kamu tahu kalau nama Alda beredar dimana-mana?”
”beredar?” aku kaget, biasanya kalau kata beredar imagenya negatif, seperti
beredarnya sabu-sabu, beredarnya CD porno, beredarnya miras.
”oh maaf, maksud aku, terkenal di mana-mana?”
”memang terkenal gimana?”
”Dia kan juara 2 lomba Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional..”
”kamu tau dari mana? Kok Alda
belum kasih tahu aku?”
”mungkin dia mau memberi kejutan buat kamu. Hati-hati, kamu jantungan ga?”
ucap Septi bercanda.
”oh ngga..” balasku senyum
mendengar kabar baik itu dan mana mungkin
aku jantungan kan jantung hatiku
tercuri oleh kamu bisik hatiku.
”tapi aku khawatir dengan Alda?” selorohku untuk membuka
percakapan.
”khawatir kenapa? masalah biaya kuliah?” tanya Septi, syukurlah dia
menanggapi, jadi aku bisa meneruskan pada inti masalah.
”bukan..untuk biaya kuliah aku yakin dia akan segera mendapat beasiswa.
Kemarin dia memberi kabar begitu.”
”lalu ada masalah apa, ada yang bisa aku bantu?” tawarnya.
Lalu aku
ceritakan padanya. Saat itu juga bapak dan ibunya turut mendengar. Biarlah
mereka juga sudah menganggap aku keluarga. Aku ceritakan tentang peristiwa Alda
diganggu kaka
kelasnya, diganggu oleh pemuda yang di dekat pos ronda. Aku pun menceritakan
perkelahianku dengan pemuda-pemuda itu. Juga amanat almarhum Umi dan Abi untuk
menjaga Alda
”itu dia yang aku khawatirkan..mungkin saat ini aku masih kuat dan bisa
menghajar semua pemuda yang mengganggunya. Tapi sampai kapan? Belum lagi kalau
jarak yang jauh dan aku harus bekerja pula. Aku bukannya berat dan tidak mau
berada disampingnya selalu, cuma badanku hanya satu” keluhku.
Septi, ayah dan ibunya memberikan saran. Saran yang saat ini bisa aku
terima dan berikan pada Alda hanya saran yang kedua. Saran pertama dari ayah
dan ibu adalah segera menikahkan Alda. Saran ini belum dapat aku terima karena
Alda sendiri mau menikah setelah lulus dan bekerja. Saran kedua yang akan aku
sampaikan pada Alda. Saran kedua yang
meluncur dari bibir Septi, menurutku, lebih tepat untuk
saat ini dan nanti bahkan jika aku mati.
Minggu
depan waktunya Alda pulang, mungkin itu waktu yang tepat untuk aku membicarakan
ini. Dan aku harus menyusun kalimat yang baik agar dia dapat menerimanya.
Segera setelah
mendapatkan saran Aku berpamitan dengan Septi dan keluarganya. Hujan turun,
deras sekali. Tapi, aku harus mengajar lagi di rumah Afif, di sebuah perumahan
dekat rumah ku. Aku butuh 45 menit untuk tiba disana.
Selama diperjalanan aku sibuk
memikirkan Septi dan mengingat cerita yang menimpanya. Septi kini berjilbab.
“Duh dia koq semakin cantik ya? Kalau sudah
begini, aku ngga salah pilih menaruh
hati padanya” pikirku. berharap.
Tapi, ternyata selama ini Aku tidak
tahu bahwa Septi juga pernah diganggu oleh pemuda-pemuda usil seperti yang
diceritakannya.
“waktu aku belum berjilbab banyak pemuda yang
ganggu. Dulu aku tidak menyadari bahwa diriku begitu berharga” cerita Septi
“saat kuliah,
aku menganggap biasa saja dengan teman perempuan atau pun teman laki-laki.
Menurutku ngga ada bedanya. Lagi pula kalo tidak berinteraksi dengan laki-laki
sepertinya dunia sepi. Jadi saat itu, kalau mengerjakan tugas kebetulan berdua
saja dengan laki-laki, mgga masalah buat ku”
“Karena sudah
terbiasa, kepekaanku pun hilang. Kadang mereka maunya duduk dekat aku, ngajak
ngobrol, ngaler-ngidul, entah kemana
arah yang penting ngobrol. Kadang langsung saja merangkul kaya teman akrab saja. Kadang aku dibonceng kalo pulang bersama.
Tidak ada hal yang perlu dibatasi menurutku” kata Septi
“Tidak seperti
teman-temanku yang berjilbab, sepertinya mereka repot sekali. Kalau rapat harus
bertiga atau dengan muhrimnya. menurutku, kalau belum menikah ya, biasa saja
lah kita kan teman ini dengan laki-laki. Lagi pula jabat tangan, duduk bersama
itu kan biasa. Gimana kita berinteraksi kalau ngga kaya gitu?”
“keputusanku
untuk berjilbab karena ada temanku yang
menasehati. Diantara laki-laki dikelas, ada yang begitu hati-hati menjaga
tanganya dari menyentuh wanita. Dekat saja tidak mau, apalagi menyentuh. Tapi
dia orang yang ramah, baik dan perhatian” seru Septi senang.
“Siapa lelaki
itu?” Pikirku. Aku jadi cemburu.
“Ihsan namanya,
dia juga pandai bergaul. Semua teman sekelas kenal baik dengan dia. Dia suka becanda
dan kadang kita saling cengin, saling
bilang siapa paling hebat baik nilai atau apapunlah. Tapi bukan sombong,
pokoknya yang bikin kita jadi kaya
berlomba gitu deh” lanjutnya senang.
“waktu itu kami
sekelompok tugas. Ada aku, Rani-teman sekelasku yang berjilbab, dan Ihsan.
Entah pangkalnya apa, sampai kami ngbahas
jilbab. Rani yang memulai bertanya padaku, kenapa ngga pakai jilbab, padahal
itu perintah Allah”
Rani juga bilang
kalau pake jilbab itu bisa menghemat
pengeluaran. Katanya, kita ngga perlu
pakai cream pelindung dari sinar
matahari.
“Ya kalau mau
melindungi kulit, ya ditutup aja kulit kita. Bukan dioles cream terus kita panas-panasan. Sama aja boong donk. Kaya kita
berlindung dari hujan dibawah pohon yang tidak ada daunnya” serunya. Benar juga
pikirku.
Tapi waktu itu aku tetap tidak
bergeming.
“aku mah, pakai kerudung saat aku sudah
menikah nanti” jawabku tenang.
Tiba-tiba si Ihsan nyeletuk.
“wah..rugi amat
yang jadi suami Lo..”kata Ihsan.
“buat orang
lain, tubuh Lo, udah Lo buka gratis-gratisin.
Pas buat suami Lo, Lo tutup-tutupin”
lanjut Ihsan.
“saat itu, aku
langsung tersentak“kata Septi.
“kata-kata
itu menusuk, tapi tusukan itulah yang membuat tabir kelam dihatiku-yang tidak
mengerti makna jilbab, pecah”
“ditambah lagi
adanya kasus video cabul dari beberapa mahasiswa. Mereka mengoleksi video
pinggul wanita yang bercelana ketat saat jalan, juga merekam saat-saat wanita
pakai rok mini tidak menyadari terbuka roknya”
Septi melihat
sendiri video itu saat pinjam Hp teman-teman lelakinya. Ternyata mereka juga
pernah merekam septi. “Kurang ajar lo pada!” geram Septi.
Septi bilang ia memarahi
teman-temannya itu. Kemudian ia juga bilang bahwa otak mereka itu sudah ngeres.
Tapi teman-teman cowok malah balas “Lo nya aja yang mau digratisin..”
“maksud Lo apa? Hapus tuh video,
hapus!”
“lah, kalau pakai-pakaian itu
kalian senang dan sengaja artinya kalian uda ngizinin kita buat liat, nyolek
and so pasti koleksi videonya, hehe” tawa teman cowonya merendahkan.
“Dua hari
kemudian setelah celetukan Ihsan dan kejadian itu, aku memutuskan dan yakin
memakai Jilbab” kata Septi.
“apalagi
sekarang banyak bahan jilbab yang adem ‘n modis lagi” seru Septi mengakhiri
ceritanya.
Cerita pengalaman Septi sangat
masuk dihati. Mudah-mudahan Alda mau menerima nasehat ini. Dulu Umi juga pernah
nasehati Alda “pakai jilbab nak..kamu tuch cantik. Banyak yang cantik diganggu
orang. Jilbab bisa jadi penghalang dari gangguan laki-laki mata keranjang” tapi
Alda tidak mau. Alasannya sama seperti yang Septi katakan
“nanti kalau
Alda uda nikah mi” seru Alda, seingatku dulu.
“lagi pula gerah
panas kalau pake jilbab!” lanjut singkat.
Abi juga sudah turut menasehati.
Tapi ya memang anak wedo yang masih
remaja dan belum tau makna Jilbab. Alda tetap ngotot. Intinya ia belum siap.
Dan intinya lagi nasehat Umi dan Abi belum mengena. Mungkin karena bahasanya
yang lebih menekan seperti orangtua ke anak atau seperti guru ke murid bukan
seperti teman ke teman. Jadi ngga masuk di hati. Aku dulu juga ngga terlalu
mempermasalahkan kalau adikku itu mau berjilbab atau tidak. Aku juga dulu tidak
mengerti. Tapi sekarang, saat Umi dan Abi tidak ada, timbul kekhawatiranku
sebagai kakak. Aku khawatir mendengar kasus-kasus pemerkosaan, CD porno, dan
berita mesum lainnya. Sebenarnya setelah kejadian oleh pemuda di Pos Ronda itu,
aku juga nasehatin Alda untuk mulai tutup aurat.
“ah kaka!”
keluhnya.
“ribet ka..ribet
pake Jilbab tuh..kakak ngga ngerasain sih!”
“ya ngga apa-apa
ribet sedikit de, yang penting kamu aman. Jadi kakak ngga repot harus pake
berkelahi segala kalau ada yang menggoda kamu”
Alda cuma diam.
“Pak RT tadi
ngomong ama kakak, rifal CS ngadu ke mereka, kakak ngga enak soalnya pak RT
bilang ‘adikmu juga sih pakai pakaian tank top, ngga bisa kamu salahkan 100% ke
rifal CS, kamu ajarin juga adikmu’” kakak malu de kalau kita jadi omongan
warga.
“biarin aja
ka..jangan dengerin mereka. Mereka tuh ngga tau namanya mode. Namanya orang
kampung mana ngerti mode sih!” jawab Alda. Dia memang bebal orangnya. Keras
kepala.
“ade mau
dengarin kaka?”
Lama dia
menjawab. Aku hanya ingin memastikan apa yang ia ucapkan “..jangan dengerin
mereka” itu kalimat perintah untukku. Padahal bukan cuma “mereka” yang minta,
tapi aku juga. Aku kakakmu.
“udahlah ka,
Alda kan uda gede. Ngga usah diatur-atur gitu!” jawabnya ketus. Semenjak kuliah
ia jadi semakin sering membantah. Dia belajar apa sih dikuliahan pikir
Ahmad.
“da..kalau ada
yang apa-apain kamu, kakak yang bertanggung jaw..” belum juga Ahmad selesai
bicara. Alda sudah memotong.
“alda bisa jaga
diri sendiri koq! Alda uda gede ka” ia pergi ke kamar dan menguncinya.
Ahmad diam
dan..sedih. Sambil mengingat-ingat ucapan Alda.
“Apa kali ini
Alda mau nerima nasehatku ya?” tanya Ahmad pada diri sendiri. Kebingunan
meliputi pikiran Ahmad. Ia hanya ingin adiknya itu terlindung. Apalagi dia
belum mau menikah. Kalau sudah menikah sih, tanggung jawab besar di suaminya.
Ahmad sibuk mengulang kembali
cerita Septi dan memikirkan cara menasehati Alda. Saking sibuknya, Ia tidak
sadar. Ditikungan jalan, Si Samson berpapasan dengan truk. Si Samson terlalu
ketengah jalan. Ia mencoba membelokan ke jalurnya. Tapi tidak bisa! Si Samson oleng, ban depannya yang gundul tidak
bisa mencengkram aspal yang diguyur hujan itu. Samson terpeleset.
“Duarr!” Suara
benda bertabrakan. Ada sesuatu yang terpental berbentuk bulat. Helm.
“Ya Allah!”
terdengar teriakan keras.
Terdengar dentuman tubuh yang
terjatuh dan mengguling. Air hujan pun memerah menjadi saksi ucapan terakhirnya
“Alda..”
***
“ka..Alda
punya kejutan!” seru Alda berlari kecil dari halaman rumah. Ahmad yang sedang baca Al-Qur’an,
di teras rumah, jadi menaruh
perhatian padanya.
“wah..kejutan
apa de?” tanyanya pura-pura tidak tahu. Sepertinya kabar tentang dia menang lomba itu.
“Alda
punya hadiah buat kakak Alda yang paling Alda sayang..” ucap Alda menggoda
sambil menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
Ahmad hanya bisa tersenyum.
“Syukurlah kalau dia sayang kakaknya. Berarti tidak
sia-sia jerih payahku selama ini” bisik hatinya.
“ini
ka..” sambil menjulurkan sebuah kotak kecil.
Apa ya isinya?
Sebelum dibuka, Ahmad mendengar suara benda di dalam kotak itu. Sebuah hadiah
yang selama ini Ia tunggu.
“Jam tangan!”
“Alda ternyata tahu apa yang kakak butuhkan..”
Kemudian, setelah
ngobrol panjang lebar mulai dari mana ia dapat uang buat beli jam bermerek
terkenal itu dan kabar kuliahnya, Ahmad langsung memulai pembicaraan yang telah disiapkan.
“De..kakak mau ngomong ma
ade..”
Alda diam sejenak.
“iya
ka, Alda pasti dengerin apa yang kaka bilang”
“Kamu
memang ade
yang baik..” puji Ahmad.
“De,
kakak cuma mau bilang kalau ada sepuluh bahkan seratus pemuda mengganggu ade,
pasti kakak lawan, dan De pasti kakak jaga..”
“tapi
de..” Ahmad diam sejenak.
“kakak tidak bisa terus di samping de, kakak juga semakin
bertambah tua..”
Alda belum mengerti
maksud pembicaraannya, tapi dia tetap mendengarkan.
”de, setelah kakak pikirkan mengapa kamu sering diganggu oleh pemuda-pemuda
brengsek, kakak sampai pada satu kesimpulan yang benar..”
”dan kakak pun sudah menemukan jalan keluar yang pasti..” ucapnya dengan
yakin. Alda mulai mengerti maksud pembicaraan.
”Pakailah jilbab de, tutupi aurat mu..”
Alda
mengerutkan kening. Seperti tidak setuju.
”ternyata selama ini, penyebabnya adalah mutiara kaka tidak ditutupi dengan
rapi sehingga para pemuda seenaknya saja memandang dan mencoleknya” bujuknya
meyakinkan bahwa dia sungguh berharga.
”pakailah jilbab de, maka kamu ngga
akan diganggu, Allah yang menjaminnya. Jika pun diganggu, Allah pelindungmu de,
bukan lagi kaka. Allah tidak pernah mengingkari janjiNya bagi siapa yang mau
memenuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya”
”lalu menurutmu gimana de dengan saran kakak ini?” tanya Ahmad.
”ade belum siap ka, ade mau pake jilbab kalo uda nikah..” ucap Alda.
Ahmad sudah
mengira jawabannya begitu. Ia segera ingat cerita Septi.
”de kok ngga adil?”.
”ngga adil?” jawab Alda sambil
bertanya balik.
”ade belum siap ka, nanti kalo uda nikah, ade pasti pake jilbab” lanjutnya
”iya kakak ngerti, tapi ade ngga adil dengan suami de nanti..”
”maksudnya ka?”
”de, gratis-gratisin pemuda-pemuda brengsek melihat tubuh de tanpa jilbab
sebelum menikah. Setelah menikah, setelah de dapat suami yang sudah berani
melamar de, de tutup-tutupi tubuh de..”
”padahal, harusnya aurat de khusus yang berhak yaitu suami de, dan
menutupinya dari orang yang tidak berhak”
”ribet ka, panas..” gerutu Alda mulai terlihat
”banyak koq bahan yang adem ’n modis lagi..”
Ahmad sambil mengeluarkan sebuah bungkusan berisi kerudung dengan warna
kesukaan Alda, pink.
”Ka...Alda ma..” keluh Alda. Tapi ahmad langsung melanjutkan bujukannya
sebelum Alda protes lebih lanjut.
”kalau de ngga mau dengerin kata kakak, de mau dengerin siapa lagi? Apa
kakak mau ngejelekin, ngjahatin de? Bahkan ini untuk kebaikan de sendiri..”
kalimat itu tak tersadari muncul dari mulut Ahmad.
”Kalau de ngga nutup aurat, setiap orang, terutama laki-laki akan
terangsang, kalau laki-laki itu punya istri, mereka bisa mencurahkan ke
istrinya. Kalau laki-laki itu masih muda, remaja, mereka lampiaskan kesiapa?
Banyak diberita pemuda lajang yang melampiaskan pada anak kecil, teman
sekolahnya sendiri karena melihat wanita berpakain ketat!
”yang lain banyak koq ka, teman-temanku juga bilang pada biasa aja..pikiran
pemuda itu aja kali yang ngeres” protes Alda mulai kelihatan.
”De..kaka harap, minimal ade kaka ngga jadi penyumbang pandangan-pandangan
nafsu bagi laki-laki, de bilang jangan denger ucapan masyarakat, sekarang de
bisa ngga jangan dengerin ucapan teman-teman de..lagi pula dari segi kesehatan,
pakaian ketat dan menampilkan aurat itu tidak baik untuk kesehatan kulit dan
aliran darah. Dari segi ekonomi dan waktu, pakaian ketat itu mahal padahal
bahannya sedikit, make dan lepasinnya aja susah, ngabisin waktu”
Alda terdiam. Ahmad pun diam. Sedih rasanya.
Ahmad melihat bayangan, seperti mimpi, Abi dan Umi pulang. Mereka baru
sampe depan pagar dan berhenti disana.
”de..lihat, Umi dan Abi pulang..” tutur Ahmad girang sambil menunjuk sosok
Umi dan Abi yang berdiri di pagar depan halaman. Ia begitu kangen dengan
keduanya hingga tak sadar sudah berada di dekat Umi dan Abi sedangkan Alda
masih diam di teras.
”de...ayo sini, koq bengong, Umi
dan Abi udah pulang” kata Ahmad sambil menyalami Umi dan Abi yang diam
tersenyum.
Tapi, apa yang
terjadi? Ahmad bingung. Perlahan sosok Alda di teras rumah mulai kabur.
”de..de...” teriaknya. Sosok Alda pun menghilang.
Tinggallah
Ahmad, Umi dan Abi.
”tenanglah mad, adikmu Allah yang akan menjaganya” kata Umi.
***
Sementara itu.
Di sebuah ruangan rumah sakit. Alda terbangun dari mimpinya. Sambil menangis.
Dia pegang sosok tubuh di hadapannya yang dingin. Dia melihat pada alat
detektor detak jantung. Terlihat lurus datar.
”kakak!!” teriak Alda.
”kakak..jangan tinggalin Alda sendirian ka..” isak
Alda menangis.
Comments
Post a Comment