Alda adikku..



Samson, nama motorku, sudah lama tidak mandi. Lima bulan sudah. Ban depan nyaris ketutup kerak lumpur. Jari-jarinya sudah berwarna coklat. Bagian mesin bawah, knalpot, dan ban belakang sudah tertutup lumpur kering. Samson sangat berjasa. Dia menjadi jalan buat aku mendapat uang dengan cara mengajar. Dari gaji mengajar, aku membiayai kuliah adikku. Ya walau hanya SPPnya saja.
Alda nama adikku. Ia jurusan ekonomi manajemen. Syukurlah mudah-mudahan bisa mengangkat ekonomi keluarga yang morat-marit setelah Umi dan Abi almarhum. Kini tinggal aku dan alda. Aku sayang adikku. Apalagi aku benar-benar diamanahi oleh almarhum Umi dan Abi yang sempat memberi tanda sebelum kecelakan naas menjadi penyebab kematiannya.
”hati-hati di rumah, mad jaga adikmu baik-baik, jangan sampai diganggu sama orang” ucap Umi.
”Ingat Mad, adikmu adalah keluarga terdekatmu, saudara-saudara kita yang lain pada jauh semua” Abi menambahkan.
***
”ka..ka..” panggil Alda. Aku saat itu tidak langsung sadar karena sedang menggosok kaki depan si Samson.
”kaka..ka..’ panggil Alda lagi kali ini lebih kencang dan lebih dekat.
”ada apa de?” ucapku sambil bangkit ke arah Alda yang berdiri dekat pagar.
”ada apa?’ lanjutku.
”itu ka, cowok-cowok yang disana ganggu Alda. Mereka siul-siul dan colek Alda ka” keluh Alda.
Merah muka ku, naik darahku mendengar itu. Tanpa pikir panjang aku datangi tempat yang ditunjukkan Alda. Disana sudah ada 3 orang pemuda lebih muda dari aku. Setelah Alda menunjukkan laki-laki yang mencoleknya. Langsung ku beri bogem di mukanya. Kedua temannya coba melawanku.
Lo mau ngebelain teman Lo yang salah? Oke gue layanin” kataku.
Dua lawan satu. Aku berlari sedikit bergerak memutar supaya mereka agak terpisah jadi aku bisa membereskan satu dulu baru ke yang lain. Teknik karate yang pernah diajari oleh pamanku sangat ampu melawan dua bocah itu. Bocah pertama sudah aku banting duluan sekuat tenaga. Bocah kedua yang menyusul kena mei geri, tendangan lurus tepat di ulu hati. Dia mengadu-adu kesakitan.
”ampun Mad, maafin kita Mad, kita ngga lagi deh ganggu ade Lo” ucap si Rifal, pemuda yang pertama ku pukul hingga mimisan. Kedua temannya juga ikut.
”ya uda, jangan ulangi lagi. Kalo ngga mau diganggu ma orang makanya jangan ganggu orang. Lo sendiri mau apa kalo ade Lo diganggu ma orang lain?” ku harap mereka berpikir akan pertanyaan ku terakhir dan mulai tidak mengganggu orang. Setelah itu aku langsung pulang.
***
Ini bukan hal pertama yang aku lakukan. Dulu Alda saat semester 1 di tempat kuliahnya. Dia juga diganggu ma kaka kelasnya. Saat itu aku datangi laki-laki yang bernama Edo.
”Mahasiswa kok ngga menunjukkan perilaku terpelajar..” celetukku.
Edo waktu itu meremehkan dengan mengatakan ”dasar tukang ojeg!” karena ia sering juga melihat aku mengantar jemput Alda. Saat itu Edo pun aku pukuli.
Tapi segera teman-temannya memisahkan. Untung teman-temannya tidak mengeroyok. Bisa jadi pertarungan 5 lawan 1 dan aku tidak tahu cara melawan sebanyak itu.
Akhirnya aku pun dipanggil oleh pihak departemen bersama Edo. Aku dan dia disidang. Dosennya marah-marah, aku marahin lagi.
”Ini hasil didikan Bapak? Mahasiswa seperti ini?” sambil menunjuk ke muka Edo.
”apa Bapak tidak pernah mengajar kan sopan santun pada mahasiswa? pantas negeri ini bobrok” sebenarnya aku takut juga marah, takut Alda dikeluarkan.
Tapi aku yakin tidak karena aku bisa saja melaporkan ke media, seperti yang orang-orang lakukan. Akhirnya mahasiswa itu dikenai teguran keras tapi tidak sampai dikeluarkan.
***
Alda, adikku memang cantik. Rambutnya panjang bergulung sedikit. Hidungnya lebih mancung dari hidungku. Dia juga tinggi. Tidak dandan saja begitu cantiknya apalagi kalau berdandan. Lalu aku berpikir, apa karena dia cantik dia diganggu? kalau begitu, kenapa Septi, teman sekolah ku dulu, yang sekarang sudah hampir lulus tidak pernah diganggu?
Bahkan kalau menurutku Septi lebih cantik. Parasnya lonjong seperti orang arab, tinggi, dan, bingung aku berkata apalagi. Ia begitu cantik. Kalau saja dia menjadi istriku, masya Allah luar biasa. Aku akan punya dua bidadari di rumahku. Satu istriku dan satu adikku.
Setahuku dari kelas 1 SMA hingga kami lulus bersama tidak pernah aku melihat ada yang mengganggunya.
Bahkan walau jarang bertemu, aku tidak pernah mendengar ia disiuli apalagi dicolek oleh pemuda lain. Lalu kenapa? Apa aku tanyakan saja pada Septi? sekalian aku bersilaturahim sudah lama tidak bertemu.
Kebetulan aku kan mengajar adikknya. Dan kemarin kata adikknya Septi akan pulang minggu ini. Dia ngekost di sekitar kampusnya karena harus menempuh 5 jam kalau pulang pergi. Aku nego adik Septi, Gusti namanya, kelas 2 SMP.
”hari jum’at ini kaka ngga bisa ngajar, pindah ke hari minggu aja ya?” bujukku.
”wah hari minggu nanti ka Septi datang, masa aku belajar. Aku kan kangen ma ka Septi” kata Gusti.
”aku juga” kataku dalam hati. Bingung aku mau membujuk apa lagi.
”emm.. tapi ga papa deh ka, sore ya ka..” seloroh Gusti buat aku senang.
”yes!” dalam hatiku.
***
Minggu siang menjelang sore. Di depan rumah Septi sudah terparkir sebuah motor. Motor ayahnya Septi. Berarti Septi sudah datang. Segera ku parkir si Samson di samping motor ayahnya. Aku jadi malu, terlihat sekali perbedaan antara motor terawat dengan tidak terawat. Selain itu, kok aku jadi ngga PD ya? aku kan sudah lama ngga ketemu Septi, masa pas ketemu langsung minta saran. Lagi pula belum tentu Septi mau bertemu aku. Siapa tau dia kecape-an, atau ngga mau diganggu dengan keluarganya.
Suara motorku yang mulai terhenti mengundang perhatian orang dalam. Keluar paras seorang wanita cantik, berkerudung merah. Luar biasa, Septi!
”a..a..assalamu’alaikum..” ucapku pelan sambil senyum selebar mungkin.
”wa’alaikumsalam, Ahmad?..gimana kabarnya?” tanyanya.
Untung dia masih ingat aku, Dia memang mahasiswi terpelajar. Teman lamanya saja masih ingat dan masih diakui. Tak salah aku cint..Ups!
”alhamdulillah baik, Septi gimana kabarnya? Kapan di wisuda?”
”alhamdulillah Septi sehat wal ’afiat, insya Allah Mei ini Septi wisuda, ayo masuk Ahmad, kebetulan aku bawa makanan khas Bandung, Ubi Cilembu”
Aku langsung diajak ngobrol bersama dengan keluarganya. Alhamdulillah keluarganya hangat sekali, karena ayah dan ibunya sudah kenal aku dan orang tuaku, orang tuanya juga menganggap aku anaknya.
Tapi tetap aku harus jaga sikap. Selama satu jam setengah kita mendengar cerita seru saat Septi seminar, sidang dan mengurus SKL yang cukup ribet katanya. Tapi alhamdulillah kini dia sudah lulus dan segera wisuda. Tinggal melamar. Atau dilamar.
Sepertinya hari ini belum pas untuk bertanya perihal adikku. Tapi nanti malam Septi sudah kembali lagi ke kampus, ada tugas buat Paper katanya. Padahal ayah dan ibunya minta ia tinggal sampai besok. Begitu juga aku.
”Ahmad kabar Alda gimana?” tanya Septi membuyarkan kebingunganku.
Dan aku kagum padanya dia tidak pernah memanggil namaku sepotong-sepotong, seperti temanku, ada yang panggil aku ”ach” pake C, padahal namaku Ahmad.
Ada yang panggil ”mad..mad..” pake huruf D bahkan ada yang manggil dengan ”mat..mat”, pake T, memangnya aku tomat? Aku Ahmad. A..h..m..a...d.
”Alda alhamdulillah sehat, sekarang dia sudah semester 3” jawabku.
”kamu tahu kalau nama Alda beredar dimana-mana?”
”beredar?” aku kaget, biasanya kalau kata beredar imagenya negatif, seperti beredarnya sabu-sabu, beredarnya CD porno, beredarnya miras.
”oh maaf, maksud aku, terkenal di mana-mana?”
”memang terkenal gimana?”
”Dia kan juara 2 lomba Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional..”
”kamu tau dari mana? Kok Alda belum kasih tahu aku?”
”mungkin dia mau memberi kejutan buat kamu. Hati-hati, kamu jantungan ga?” ucap Septi bercanda.
”oh ngga..” balasku senyum mendengar kabar baik itu dan mana mungkin aku jantungan kan jantung hatiku tercuri oleh kamu bisik hatiku.
”tapi aku khawatir dengan Alda?” selorohku untuk membuka percakapan.
”khawatir kenapa? masalah biaya kuliah?” tanya Septi, syukurlah dia menanggapi, jadi aku bisa meneruskan pada inti masalah.
”bukan..untuk biaya kuliah aku yakin dia akan segera mendapat beasiswa. Kemarin dia memberi kabar begitu.”
”lalu ada masalah apa, ada yang bisa aku bantu?” tawarnya.
Lalu aku ceritakan padanya. Saat itu juga bapak dan ibunya turut mendengar. Biarlah mereka juga sudah menganggap aku keluarga. Aku ceritakan tentang peristiwa Alda diganggu kaka kelasnya, diganggu oleh pemuda yang di dekat pos ronda. Aku pun menceritakan perkelahianku dengan pemuda-pemuda itu. Juga amanat almarhum Umi dan Abi untuk menjaga Alda
”itu dia yang aku khawatirkan..mungkin saat ini aku masih kuat dan bisa menghajar semua pemuda yang mengganggunya. Tapi sampai kapan? Belum lagi kalau jarak yang jauh dan aku harus bekerja pula. Aku bukannya berat dan tidak mau berada disampingnya selalu, cuma badanku hanya satu” keluhku.
Septi, ayah dan ibunya memberikan saran. Saran yang saat ini bisa aku terima dan berikan pada Alda hanya saran yang kedua. Saran pertama dari ayah dan ibu adalah segera menikahkan Alda. Saran ini belum dapat aku terima karena Alda sendiri mau menikah setelah lulus dan bekerja. Saran kedua yang akan aku sampaikan pada Alda. Saran kedua yang meluncur dari bibir Septi, menurutku, lebih tepat untuk saat ini dan nanti bahkan jika aku mati.
Minggu depan waktunya Alda pulang, mungkin itu waktu yang tepat untuk aku membicarakan ini. Dan aku harus menyusun kalimat yang baik agar dia dapat menerimanya.
Segera setelah mendapatkan saran Aku berpamitan dengan Septi dan keluarganya. Hujan turun, deras sekali. Tapi, aku harus mengajar lagi di rumah Afif, di sebuah perumahan dekat rumah ku. Aku butuh 45 menit untuk tiba disana.
Selama diperjalanan aku sibuk memikirkan Septi dan mengingat cerita yang menimpanya. Septi kini berjilbab.
“Duh dia koq semakin cantik ya? Kalau sudah begini, aku ngga salah pilih menaruh hati padanya” pikirku. berharap.
Tapi, ternyata selama ini Aku tidak tahu bahwa Septi juga pernah diganggu oleh pemuda-pemuda usil seperti yang diceritakannya.
 “waktu aku belum berjilbab banyak pemuda yang ganggu. Dulu aku tidak menyadari bahwa diriku begitu berharga” cerita Septi
“saat kuliah, aku menganggap biasa saja dengan teman perempuan atau pun teman laki-laki. Menurutku ngga ada bedanya. Lagi pula kalo tidak berinteraksi dengan laki-laki sepertinya dunia sepi. Jadi saat itu, kalau mengerjakan tugas kebetulan berdua saja dengan laki-laki, mgga masalah buat ku”
“Karena sudah terbiasa, kepekaanku pun hilang. Kadang mereka maunya duduk dekat aku, ngajak ngobrol, ngaler-ngidul, entah kemana arah yang penting ngobrol. Kadang langsung saja merangkul kaya teman akrab saja. Kadang aku dibonceng kalo pulang bersama. Tidak ada hal yang perlu dibatasi menurutku” kata Septi
“Tidak seperti teman-temanku yang berjilbab, sepertinya mereka repot sekali. Kalau rapat harus bertiga atau dengan muhrimnya. menurutku, kalau belum menikah ya, biasa saja lah kita kan teman ini dengan laki-laki. Lagi pula jabat tangan, duduk bersama itu kan biasa. Gimana kita berinteraksi kalau ngga kaya gitu?”
“keputusanku untuk berjilbab karena  ada temanku yang menasehati. Diantara laki-laki dikelas, ada yang begitu hati-hati menjaga tanganya dari menyentuh wanita. Dekat saja tidak mau, apalagi menyentuh. Tapi dia orang yang ramah, baik dan perhatian” seru Septi senang.
“Siapa lelaki itu?” Pikirku. Aku jadi cemburu.
“Ihsan namanya, dia juga pandai bergaul. Semua teman sekelas kenal baik dengan dia. Dia suka becanda dan kadang kita saling cengin, saling bilang siapa paling hebat baik nilai atau apapunlah. Tapi bukan sombong, pokoknya yang bikin kita jadi kaya berlomba gitu deh” lanjutnya senang.
“waktu itu kami sekelompok tugas. Ada aku, Rani-teman sekelasku yang berjilbab, dan Ihsan. Entah pangkalnya apa, sampai kami ngbahas jilbab. Rani yang memulai bertanya padaku, kenapa ngga pakai jilbab, padahal itu perintah Allah”
Rani juga bilang kalau pake jilbab itu bisa menghemat pengeluaran. Katanya, kita ngga perlu pakai cream pelindung dari sinar matahari.
“Ya kalau mau melindungi kulit, ya ditutup aja kulit kita. Bukan dioles cream terus kita panas-panasan. Sama aja boong donk. Kaya kita berlindung dari hujan dibawah pohon yang tidak ada daunnya” serunya. Benar juga pikirku.
Tapi waktu itu aku tetap tidak bergeming.
“aku mah, pakai kerudung saat aku sudah menikah nanti” jawabku tenang.
Tiba-tiba si Ihsan nyeletuk.
“wah..rugi amat yang jadi suami Lo..”kata Ihsan.
“buat orang lain, tubuh Lo, udah Lo buka gratis-gratisin. Pas buat suami Lo, Lo tutup-tutupin” lanjut Ihsan.
“saat itu, aku langsung tersentak“kata Septi.
“kata-kata itu menusuk, tapi tusukan itulah yang membuat tabir kelam dihatiku-yang tidak mengerti makna jilbab, pecah”
“ditambah lagi adanya kasus video cabul dari beberapa mahasiswa. Mereka mengoleksi video pinggul wanita yang bercelana ketat saat jalan, juga merekam saat-saat wanita pakai rok mini tidak menyadari terbuka roknya”
Septi melihat sendiri video itu saat pinjam Hp teman-teman lelakinya. Ternyata mereka juga pernah merekam septi. “Kurang ajar lo pada!” geram Septi.
Septi bilang ia memarahi teman-temannya itu. Kemudian ia juga bilang bahwa otak mereka itu sudah ngeres. Tapi teman-teman cowok malah balas “Lo nya aja yang mau digratisin..”
“maksud Lo apa? Hapus tuh video, hapus!”
“lah, kalau pakai-pakaian itu kalian senang dan sengaja artinya kalian uda ngizinin kita buat liat, nyolek and so pasti koleksi videonya, hehe” tawa teman cowonya merendahkan. 
“Dua hari kemudian setelah celetukan Ihsan dan kejadian itu, aku memutuskan dan yakin memakai Jilbab” kata Septi.
“apalagi sekarang banyak bahan jilbab yang adem ‘n modis lagi” seru Septi mengakhiri ceritanya.
Cerita pengalaman Septi sangat masuk dihati. Mudah-mudahan Alda mau menerima nasehat ini. Dulu Umi juga pernah nasehati Alda “pakai jilbab nak..kamu tuch cantik. Banyak yang cantik diganggu orang. Jilbab bisa jadi penghalang dari gangguan laki-laki mata keranjang” tapi Alda tidak mau. Alasannya sama seperti yang Septi katakan
“nanti kalau Alda uda nikah mi” seru Alda, seingatku dulu.
“lagi pula gerah panas kalau pake jilbab!” lanjut singkat.
Abi juga sudah turut menasehati. Tapi ya memang anak wedo yang masih remaja dan belum tau makna Jilbab. Alda tetap ngotot. Intinya ia belum siap. Dan intinya lagi nasehat Umi dan Abi belum mengena. Mungkin karena bahasanya yang lebih menekan seperti orangtua ke anak atau seperti guru ke murid bukan seperti teman ke teman. Jadi ngga masuk di hati. Aku dulu juga ngga terlalu mempermasalahkan kalau adikku itu mau berjilbab atau tidak. Aku juga dulu tidak mengerti. Tapi sekarang, saat Umi dan Abi tidak ada, timbul kekhawatiranku sebagai kakak. Aku khawatir mendengar kasus-kasus pemerkosaan, CD porno, dan berita mesum lainnya. Sebenarnya setelah kejadian oleh pemuda di Pos Ronda itu, aku juga nasehatin Alda untuk mulai tutup aurat.
“ah kaka!” keluhnya.
“ribet ka..ribet pake Jilbab tuh..kakak ngga ngerasain sih!”
“ya ngga apa-apa ribet sedikit de, yang penting kamu aman. Jadi kakak ngga repot harus pake berkelahi segala kalau ada yang menggoda kamu”
Alda cuma diam.
“Pak RT tadi ngomong ama kakak, rifal CS ngadu ke mereka, kakak ngga enak soalnya pak RT bilang ‘adikmu juga sih pakai pakaian tank top, ngga bisa kamu salahkan 100% ke rifal CS, kamu ajarin juga adikmu’” kakak malu de kalau kita jadi omongan warga.
“biarin aja ka..jangan dengerin mereka. Mereka tuh ngga tau namanya mode. Namanya orang kampung mana ngerti mode sih!” jawab Alda. Dia memang bebal orangnya. Keras kepala.
“ade mau dengarin kaka?”
Lama dia menjawab. Aku hanya ingin memastikan apa yang ia ucapkan “..jangan dengerin mereka” itu kalimat perintah untukku. Padahal bukan cuma “mereka” yang minta, tapi aku juga. Aku kakakmu.
“udahlah ka, Alda kan uda gede. Ngga usah diatur-atur gitu!” jawabnya ketus. Semenjak kuliah ia jadi semakin sering membantah. Dia belajar apa sih dikuliahan pikir Ahmad. 
“da..kalau ada yang apa-apain kamu, kakak yang bertanggung jaw..” belum juga Ahmad selesai bicara. Alda sudah memotong.
“alda bisa jaga diri sendiri koq! Alda uda gede ka” ia pergi ke kamar dan menguncinya.
Ahmad diam dan..sedih. Sambil mengingat-ingat ucapan Alda.
“Apa kali ini Alda mau nerima nasehatku ya?” tanya Ahmad pada diri sendiri. Kebingunan meliputi pikiran Ahmad. Ia hanya ingin adiknya itu terlindung. Apalagi dia belum mau menikah. Kalau sudah menikah sih, tanggung jawab besar di suaminya.
Ahmad sibuk mengulang kembali cerita Septi dan memikirkan cara menasehati Alda. Saking sibuknya, Ia tidak sadar. Ditikungan jalan, Si Samson berpapasan dengan truk. Si Samson terlalu ketengah jalan. Ia mencoba membelokan ke jalurnya. Tapi tidak bisa! Si Samson oleng, ban depannya yang gundul tidak bisa mencengkram aspal yang diguyur hujan itu. Samson terpeleset.
“Duarr!” Suara benda bertabrakan. Ada sesuatu yang terpental berbentuk bulat. Helm.
“Ya Allah!” terdengar teriakan keras.
Terdengar dentuman tubuh yang terjatuh dan mengguling. Air hujan pun memerah menjadi saksi ucapan terakhirnya
“Alda..”
***
“ka..Alda punya kejutan!” seru Alda berlari kecil dari halaman rumah. Ahmad yang sedang baca Al-Qur’an, di teras rumah, jadi menaruh perhatian padanya.
“wah..kejutan apa de?” tanyanya pura-pura tidak tahu. Sepertinya kabar tentang dia menang lomba itu.
“Alda punya hadiah buat kakak Alda yang paling Alda sayang..” ucap Alda menggoda sambil menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
Ahmad hanya bisa tersenyum.
Syukurlah kalau dia sayang kakaknya. Berarti tidak sia-sia jerih payahku selama ini” bisik hatinya.
“ini ka..” sambil menjulurkan sebuah kotak kecil.
Apa ya isinya? Sebelum dibuka, Ahmad mendengar suara benda di dalam kotak itu. Sebuah hadiah yang selama ini Ia tunggu.
Jam tangan!” 
Alda ternyata tahu apa yang kakak butuhkan..”
Kemudian, setelah ngobrol panjang lebar mulai dari mana ia dapat uang buat beli jam bermerek terkenal itu dan kabar kuliahnya, Ahmad langsung memulai pembicaraan yang telah disiapkan.
De..kakak mau ngomong ma ade..”
Alda diam sejenak.
“iya ka, Alda pasti dengerin apa yang kaka bilang”
“Kamu memang ade yang baik..” puji Ahmad.
“De, kakak cuma mau bilang kalau ada sepuluh bahkan seratus pemuda mengganggu ade, pasti kakak lawan, dan De pasti kakak jaga..”
“tapi de..” Ahmad diam sejenak.
kakak tidak bisa terus di samping de, kakak juga semakin bertambah tua..”
Alda belum mengerti maksud pembicaraannya, tapi dia tetap mendengarkan.
”de, setelah kakak pikirkan mengapa kamu sering diganggu oleh pemuda-pemuda brengsek, kakak sampai pada satu kesimpulan yang benar..”
”dan kakak pun sudah menemukan jalan keluar yang pasti..” ucapnya dengan yakin. Alda mulai mengerti maksud pembicaraan.
”Pakailah jilbab de, tutupi aurat mu..”
Alda mengerutkan kening. Seperti tidak setuju.
”ternyata selama ini, penyebabnya adalah mutiara kaka tidak ditutupi dengan rapi sehingga para pemuda seenaknya saja memandang dan mencoleknya” bujuknya meyakinkan bahwa dia sungguh berharga.
”pakailah jilbab de, maka kamu ngga akan diganggu, Allah yang menjaminnya. Jika pun diganggu, Allah pelindungmu de, bukan lagi kaka. Allah tidak pernah mengingkari janjiNya bagi siapa yang mau memenuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya”
”lalu menurutmu gimana de dengan saran kakak ini?” tanya Ahmad.
”ade belum siap ka, ade mau pake jilbab kalo uda nikah..” ucap Alda.
Ahmad sudah mengira jawabannya begitu. Ia segera ingat cerita Septi.
”de kok ngga adil?”.
ngga adil?” jawab Alda sambil bertanya balik.
”ade belum siap ka, nanti kalo uda nikah, ade pasti pake jilbab” lanjutnya
”iya kakak ngerti, tapi ade ngga adil dengan suami de nanti..”
”maksudnya ka?”
”de, gratis-gratisin pemuda-pemuda brengsek melihat tubuh de tanpa jilbab sebelum menikah. Setelah menikah, setelah de dapat suami yang sudah berani melamar de, de tutup-tutupi tubuh de..”
”padahal, harusnya aurat de khusus yang berhak yaitu suami de, dan menutupinya dari orang yang tidak berhak”
”ribet ka, panas..” gerutu Alda mulai terlihat
”banyak koq bahan yang adem ’n modis lagi..”
Ahmad sambil mengeluarkan sebuah bungkusan berisi kerudung dengan warna kesukaan Alda, pink.
”Ka...Alda ma..” keluh Alda. Tapi ahmad langsung melanjutkan bujukannya sebelum Alda protes lebih lanjut.
”kalau de ngga mau dengerin kata kakak, de mau dengerin siapa lagi? Apa kakak mau ngejelekin, ngjahatin de? Bahkan ini untuk kebaikan de sendiri..” kalimat itu tak tersadari muncul dari mulut Ahmad.
”Kalau de ngga nutup aurat, setiap orang, terutama laki-laki akan terangsang, kalau laki-laki itu punya istri, mereka bisa mencurahkan ke istrinya. Kalau laki-laki itu masih muda, remaja, mereka lampiaskan kesiapa? Banyak diberita pemuda lajang yang melampiaskan pada anak kecil, teman sekolahnya sendiri karena melihat wanita berpakain ketat!
”yang lain banyak koq ka, teman-temanku juga bilang pada biasa aja..pikiran pemuda itu aja kali yang ngeres” protes Alda mulai kelihatan.
”De..kaka harap, minimal ade kaka ngga jadi penyumbang pandangan-pandangan nafsu bagi laki-laki, de bilang jangan denger ucapan masyarakat, sekarang de bisa ngga jangan dengerin ucapan teman-teman de..lagi pula dari segi kesehatan, pakaian ketat dan menampilkan aurat itu tidak baik untuk kesehatan kulit dan aliran darah. Dari segi ekonomi dan waktu, pakaian ketat itu mahal padahal bahannya sedikit, make dan lepasinnya aja susah, ngabisin waktu” 
Alda terdiam. Ahmad pun diam. Sedih rasanya.
Ahmad melihat bayangan, seperti mimpi, Abi dan Umi pulang. Mereka baru sampe depan pagar dan berhenti disana.
”de..lihat, Umi dan Abi pulang..” tutur Ahmad girang sambil menunjuk sosok Umi dan Abi yang berdiri di pagar depan halaman. Ia begitu kangen dengan keduanya hingga tak sadar sudah berada di dekat Umi dan Abi sedangkan Alda masih diam di teras.
”de...ayo sini, koq bengong, Umi dan Abi udah pulang” kata Ahmad sambil menyalami Umi dan Abi yang diam tersenyum.
Tapi, apa yang terjadi? Ahmad bingung. Perlahan sosok Alda di teras rumah mulai kabur.
”de..de...” teriaknya. Sosok Alda pun menghilang.
Tinggallah Ahmad, Umi dan Abi.
”tenanglah mad, adikmu Allah yang akan menjaganya” kata Umi.
***
Sementara itu. Di sebuah ruangan rumah sakit. Alda terbangun dari mimpinya. Sambil menangis. Dia pegang sosok tubuh di hadapannya yang dingin. Dia melihat pada alat detektor detak jantung. Terlihat lurus datar.
”kakak!!” teriak Alda.
”kakak..jangan tinggalin Alda sendirian ka..” isak Alda menangis.

Comments

Popular Posts